Selasa, 26 Juli 2016

Dekskripsi masalah : Kebiasaan dimasyarakat bahwa zakat fitrah itu 2,5 kg beras atau uang seharga beras itu. Sepengetahuan saya, bahwa dalam kitab Fathul Mu'in menyebutkan , zakat fitrah itu 1 sho' (1 sho' = 4 mud, 1mud = 1 liter lebih sepertiga) dan yang dizakatkan adalah Gholibi quuti baladihi (makanan pokok daerahnya).
Soal :
1. Benarkah zakat fitrah beras 2,5 kg tersebut?
2. Bolehkan dengan memakai uang seharga beras? Bagaimanakah dalilnya?
3. Bagaimana sholatnya sopir/pengemudi yang setiap harinya (waktu sholatnya) selalu diperjalanan?
Jawaban:
1.        Benar
2.   Tidak boleh, namun ada qoul yang memperbolehkan yaitu qoulnya Imam Bulqini dan qoul ini     boleh diikuti.
Keterangan dari kitab Ghoyatu al- Talhishi al- Murad 112
أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.
Imam al-Bulqiny telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang Aku (pengarang) telah menyakininya, Aku mengerjakanya meskipuin hal itu bertentangan dengan Madzhab al-Syafi'i , Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan didalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi didalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak emendapatkan penggatinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena Dia termasuk golongan ahli al-Tahrij dan al-Tarjih, Apalgi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut.
3. Boleh diqoshor
حاشية البيجورى جزء 1 صـ298
وخرج بقولنا: ولم يختلف فى جواز قصره .من اختلف فى جواز قصره كملاح يسافر فى البحر ومعه عياله فى سفينة ومن يديم السفر مطلقا كالساعى فإن الاتمام افضل له خروجا من خلاف من اوجبه كالإمام احمد رضي الله عنه
1.        Bagaimana hukumnya orang Islam yang menjadi hakim pada Pengadilan Negeri, di mana dalam mengadili suatu perkara tidak didasarkan pada hukum Islam. Akan tetapi pada ketentuan hukum positif, seperti KUHP, KUH Perdata, Hukum Adat dsb, yang mana dalam ketentuan tersebut dimungkinkan adanya ketentuan yang tidak sejalan dengan hukum Islam, misalnya pencuri di hukum penjara dan tidak dipotong tangannya dst.
2.       Bagaimana hukumnya Hakim yang menerima pemberian uang/hadiah dari pihak yang berperkara:
a.        Bila pemberian itu tidak diperjanjikan, diberikan sebagai ungkapan terima kasih atau sekedar pemberian tanpa syarat-syarat tertentu.
b.        Bila pemberian itu didasarkan pada syarat-syarat tertentu misalnya bila perkaranya dimenangkan, padahal sebenarnya posisi pihak tersebut, secara hukum (hukum positif/syariah) ada dipihak yang benar dan sudah seharusnya dimenangkan. Bagaimana bila dalam hal:
3.       Sang Hakim memenangkan perkara tersebut pada pihak yang menjanjikan uang dan ia terpengaruh dengan pemberian itu?
a.        Sama sekali tidak terpengaruh dengan hadiah.
4.       Dalam memutuskan suatu perkara, putusan ditentukan oleh Majlis Hakim yang terdiri dari tiga orang Hakim. Bagaimana hukumnya seorang Hakim dari Majelis tersebut yang dalam mengambil putusan mempunyai pendirian benar tetapi ‘kalah suara’ dengan Hakim lain yang ‘nyeleweng’.
5.        Dalam perkara tindak pidana subversi yan pelakunya Tokoh Agama, dalam banyak kasus secara syariat tokoh agama yang menjadi terdakwa tersebut dapat dibenarkan bahkan dapat diklarifikasikan sebagai tindakan jihad fi sabilillah. Akan tetapi dipandang dari hukum positif dapat terjerat pasal-pasal UU anti subversi. Bagaimana sikap yang harus diambil oleh Hakim (yang beragama Islam) yang mengadili perkara tersebut: menghukum (sesuai UU), membebaskan (dengan konsekwensi), meringankan hukuman, atau mengundurkan diri (biar diadili oleh Hakim yang lain).
Jawaban:
1.        Jika hakim yang memutuskan perkara dengan ketentuan hukum yang tidak sesuai dengan syariat agama Islam menganggap halal terhadap ketentuan hukum tersebut, maka hukumnya menjadi orang kafir. Jika dia tidak menganggap halal ketentuan hukum tersebut, maka hukumnya dia menjadi orang fasiq; sedang fasiq itu adalah haram.
Disamping itu perlu kita ketahui bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang dipakai di pengadilan-pengadilan negeri diseluruh wilayah Indonesia sekarang ini sebagian besar adalah masih warisan dari pemerintah penjajah Belanda, sehingga para ahli hukum dari putera-putera bangsa Indonesia ini dituntut untuk segera menggali sendiri hukum-hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
2.        
a.        Yang memberi hadiah tidak berdosa, tetapi hukum yang menerimanya tetap berdosa.
b.       Orang yang memberi hadiah serta hakim yang menerimanya sama-sama berdosa.
Dasar pengambilan:
Kitab al-Bajuri juz 2 halaman 343
وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ قَبُولُ الرَّشْوَةِ وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لِلْقَاضِى لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الحَقِّ أو لِيَمْتَنِعَ مِنْ الحُكْمِ بِالحَقِّ لِخَبَرِ" لَعَنَ اللهُ الرَّاشِ وَالمُرْتَشِ فِى الحُكْمِ". وَأَمَّ لَو دَفَعَ لَهُ شَيْئًا لِيَحْكُمَ لَهُ بِالحَقِّ فَلَيْسَ مِنَ الرَّشْوَةِ المُحَرَّمَةِ, لَكِنَّ الجَوَازَ مِنْ جِهَّةِ الآخِذِ, لأَنَّهُ لاَيَجُوزُ أَخْذُ شَيْءٍ عَلَى الحُكْمِ سَوَاءٌ أُعْطِيَ شَيئًا مِنْ بَيْتِ المَالِ اَمْ لاَ فَمَا يَأخُذُونَكَ مِنَ المَحْصُولِ حَرَامٌ.
... dan haram atasnya menerima suap, yaitu apa yang diberikan kepada qadli/hakim agar dia (qadli) menetapkan hukum dengan tidak benar, atau agar dia mencegah putusan hukum yang berdasar kebenaran, karena hadist: Allah melaknat orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap dalam menetapkan hukum. Adapun andaikata seseorang memberikan sesuatu kepada qadli agar qadli tersebut menetapkan hukum baginya dengan benar, maka pemberian itu tidak termasuk suap yang diharamkan; akan tetapi ketidak haraman tersebut dari pihak orang yang memberi dan bukan dari pihak orang yang menerima, karena qadli itu tidak boleh menerima sesuatu pemberian karena menetapkan hukum, baik dia diberi sesuatu dari baitul maal atau tidak. Sehingga apa yang mereka ambil dari apa yang dihasilkan adalah haram.
3.       Hakim tersebut sudah tidak berdosa, manakala dia telah menyatakan atau mengemukakan hukum yang benar pada sidang majelis hakim.
4.       Dia harus menghukumi (menetapkan hukum) sesuai dengan ketentuan undang-undang. Karena jihad fi sabilillah itu tidaklah dengan jalan melakukan tindakan subversi yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat; tetapi dengan jalan mendakwakan ajaran agama Islam yang benar kepada masyarakat, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi saw, para Khulafaur Rasyidin dan para wali songo
Deskripsi masalah : Rangkaian bacaan tahlil ini sangat bagus sekali, sebab yang dibaca adalah kalimah-kalimah thoyibah dan ayat-ayat suci al-Quran. Hanya saja dalam teknis pelaksanaanya biasanya di desa-desa pada hari-hari tertentu. Sebagai contoh: umpamanya ada orang meninggal dunia kemudian dibacakan tahlil sampai tujuh hari terus disusul hari keempat puluh dan terakhir mendak pindho (nglepas) setelah waktu dua tahun.
Soal :
1.        Apakah hal tersebut memang ada dasar hukumnya dari agama Islam (al Quran-Hadist). Karena ada yang berkomentar bahwa itu adalah merupakan sinkretisme antara ajaran Islam dan non-Islam.
2.       Bagaimanakah hukumnya bertawasul dalam berdoa dengan orang-orang yang telah wafat yang notabenenya mereka kita yakini shalih.
Jawaban:
1.        Dasar hukum yang menerangkan bahwa pahala dari bacaan yang dilakukan oleh keluarga mayit atau orang lain itu dapat sampai kepada si mayit yang dikirimi pahala dari bacaan tersebut adalah banyak sekali. Antara lain hadist yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas aluunaka fid Diini wal Hayaah juz 1 halaman 442, sebagai berikut:
وَقَدِ اسْتَدَلَّ الفُقَهَاءُ عَلَى هَذَا بِأَنَّ أَحَدَ الصَّحَابَةِ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنُحَجُّ عَنْهُمْ وَنَدعُو لَهُمْ هَلْْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُمء بِالطَّبَقِ إِذَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ!
Sungguh para ahli fiqh telah mengambil dalil atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!
Hanya saja dalam kitab Fatawa al-Kubra juz 2 halaman 7 diterangkan bahwa menempatkan selamatan mayat para hari ke-3 dan seterusnya, hukumnya adalah bid’ah yang makruh. Kecuali jika selamatan tersebut dilakukan dengan memaksakan diri (takalluf) sampai berhutang atau mempergunakan harta warisan anak yatim atau lainnya yang dilarang agama, maka hukumnya haram.
Adapun orang yang memberi komentar bahwa hal tersebut adalah sinkretisme antara ajaran agama Islam dengan non-Islam, maka sebenarnya orang tersebut tidak memahami sistem dakwah yang dilakukkan oleh Rasulullah saw, yang hanya memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap kebudayaan dari bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. Sehingga tidak lagi bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama Islam. Sehingga karenanya, maka komentar tersebut tidak perlu diperhatikan.
2.       Hukumnya boleh, sebab mukjizat dari para nabi, karomah dari para wali dan maunah dari para ulama shaleh itu tidak terputus dengan kematian mereka. Dalam kitab Syawahidul Haq, karangan Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani, cetakan Dinamika Berkah Utama Jakarta, tanpa tahun, halaman 118 disebutkan sebagai berikut:
وَيَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِهِمْ إلَى اللهِ تَعَالَى ، وَالإِسْتِغَاثَةُ بِالأنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ بَعْدَ مَوتِهِمْ لأَنَّ مُعْجِزَةَ الأَنْبِيَاءِ وَكَرَمَاتِ الأَولِيَاءِ لاَتَنْقَطِعُ بِالمَوتِ.
Boleh bertawassul dengan mereka (para nabi dan wali) untuk memohon kepada Allah taala dan boleh meminta pertolongan dengan perantara para Nabi, Rasul, para ulama dan orang-orang yang shalih setelah mereka wafat, karena mukjizat para Nabi dan karomah para wali itu tidaklah terputus sebab kematian
Soal :
1.        Bagaimana hukumnya bila memegang disket computer yang berisi ayat-ayat al-Quran, dalam keadaan tidak mempunyai wudlu? Mohon dijelaskan beserta dalil nashnya!
2.       Seumpama disket computer tersebut dilayarkan ke dalam monitor computer, apakah boleh memegang tanpa wudlu ke monitor tersebut? Kalau boleh, apakah ada dasarnya dari kitab/sunnah? Kalau tidak boleh, apa ada dasarnya dari kitab/sunnah?
3.       Bagaimana terhadap pandangan Islam tentang ayat-ayat al-Quran yang ada di dalam disket computer itu?
4.       Apakah boleh saya letakkan ke dalam kantong celana seperti disket-disket yang lainnya?
Jawaban:
1.        Jika ayat-ayat al-Quran yang direkam dalam disket tersebut dapat dikatakan tulisan, maka hukumnya haram; apabila tidak dapat dikatagorikan tulisan, maka hukumnya tidak haram, berdasarkan keterangan dari kitab Nihayatuz Zain halaman 32 sebagai berikut:
وَرَابِعُهَا مَسُّ المُصْحَفِ وَلَو بِحَائِلٍ ثَخِيْنٍ حَيْثُ عُدَّ مَاسًّا لَهُ عُرْفًا, وَالمُرَادُ بِالمُصْحَفِ كُلُّ مَا كُتِبَ فِيْهِ شَيْءٌ مِنَ القُرْآنِ بِقَصْدِ الدِّرَاسَةِ كَلَوحٍ أو عَمُودٍ, او جِدَارٍ كُتِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ القُرْآنِ لِلدِّرَاسَةِ فَيَحْرُمُ مَعَ الحَدَثِ حِيْنَئِذٍ.
Yang keempat dari hal-hal yang diharamkan sebab hadast kecil adalah menyentuh mushaf meskipun dengan lapis yang tebal, sekira orang yang menyentuh dengan lapis tersebut dihitung sebagai orang yang menyentuh mushaf menurut adat kebiasaan. Yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang padanya ditulis sesuatu dari al-Quran dengan maksud untuk belajar, seperti batu tulis atau tiang atau tembok yang ditulisi sesuatu dari al-Quran untuk tujuan belajar, maka haram menyentuh beserta hadast pada waktu itu.
2.       Tidak boleh, sebab layar monitor dari komputer tersebut sudah bertuliskan ayat-ayat al-Quran, sehingga seluruh monitor tersebut hukumnya menjadi mushaf.
Dasar pengambilan
Kitab Nihayatuz Zain halaman 32, sebagai berikut:
فَيَحْرُمُ مَسُّهُ مَعَ الحَدَثِ حِينَئِذٍ سَوَاءٌ فِى ذَلِكَ القَدَرِ المَشْغُولٌ بِالنُّقُوشِ وَغَيْرِهِ كَالهَامِشِ, وَمَا بِيْنَ السُّطُورِ وَيَحْرُمُ ايْضًا مَسُّ جِلْدِهِ المُتَّصِلِ بِهِ.
Maka haram menyentuh mushaf beserta hadast pada waktu itu, baik dalam ukuran tersebut adalah bagian yang penuh dengan tulisan atau lainnya, seperti pinggirnya, dan apa yang ada diantara baris-baris tulisan. Haram juga menyentuh kulitnya yang bersambung dengan mushaf.
3.       Agama Islam tetap memandangnya sebagai firman Allah yang harus dihormati, dimuliakan dan diagungkan.
4.       Meletakkan disket al-Quran dalam kantong celana adalah memberi kesan menyamakan disket tersebut dengan disket-disket lainnya yang berisi permainan (game), sehingga menunjukkan kurangnya penghormatan kepada al-Quran.
Dasar pengambilan
Kitab Qomiut Tughyan halaman 8 sebagai berikut:
وَالشُّعْبَةُ التَّاسِعَةَ عَشَرَ تَعْظِيْمُ القُرْآنِ وَاحتِرَامُهُ ... إلَى أنْ قَالَ: وَأنْ لاَ يَضَعَ فَوقَهُ شَيْئًا مِنَ الكُتُبِ حَتَّى يَكُونَ أبَدًا عَالِيًا عَلَى سَائِرِ الكُتُبِ.
Cabang iman yang ke 19 adalah mengagungkan al-Quran dan menghormatinya… sampai pada ucapan pengarang: … dan agar jangan meletakkan sesuatu diatas mushaf al-Quran sesuatu dari kitab-kitab lainnya, sehingga mushaf al-Quran itu selamanya berada diatas seluruh kitab-kitab
Deskripsi masalah :
Di desa kami, Simpang Wetan Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan, ada sebuah masjid kuno yang terletak di tepi jalan raya, sehingga apabila sewaktu-waktu ada pelebaran jalan, pasti masjid tersebut akan digusur. Untuk mengantisipasi hal tersebut, takmir masjid membentuk panitia pembangunan yang melakukan pemugaran total, dengan cara:
§  Separo dari masjid tersebut, yaitu bagian depan, akan dijadikan halaman dan tempat parkir, karena masjid tersebut sekarang ini tidak mempunyai halaman dan tempat parkir. Dengan demikian, halaman yang asalnya masjid tersebut kemungkinan besar akan terkena najis.
§  Separo dari masjid bagian depan yang dijadikan halaman tersebut, diganti dengan tanah tanah wakaf yang berada di belakang masjid tersebut. Kemudian masjid yang baru dibuat dua tingkat dan tingkat yang kedua berbentuk letter U, sehingga masjid masjid menjadi lebih megah dan lebih besar kapasitasnya menapung jama'ah.
Soal :
1.        Bolehkah menukar tanah wakaf masjid ?
2.       Bagaimana hukum merubah fungsi tanah yang semula berupa masjid menjadi halaman masjid atau tempat parkir untuk kemaslahatan masjid tersebut?
Jawaban:
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama' sebagai berikut:
1.        Hukum menukar tanah wakaf masjid:
a.        Menurut madzhab Syafi'i tidak boleh!
b.        Menurut madzhab boleh, dengan syarat:
§   Tanah wakaf tersebut ditukar dengan yang lebih baik manfaat dan kegunaannya.
§   Manfaat dan kegunaan yang lebih baik seperti tersebut di atas harus berdasarkan putusan seluruh pengurus takmir masjid dan para ulama setempat.
c.        Menurut madzhab Hambali, jika fungsi dari bagian depan masjid yang akan dijadikan halaman atau tempat parkir tersebut tidak mungkin dapat dipertahankan keabadiannya; karena keberadaan masjid di tepi jalan itu mutlak memerlukan halamman dan tempat parkir untuk menjaga keselamatan para pengunjung masjid dari kecelakaan lalu lintas dan kemungkinan ada pelebaran jalan, maka hukumnya boleh.
2.       Hukum tanah yang semula berfungsi sebagai masjid, kemudian berubah menjadi halaman atau tempat parkir:
a.        Menurut madzhab Syafi'i, tanah tersebut hukumnya tetap seperti hukum masjid, sehingga tidak boleh ada wanita yang sedang haidl berada di halaman tersebut dan hukum-hukum masjid lainnya.
b.       Munurut madzhab Hanafi, setelah tanah tersebut diputuskan menjadi halaman masjid, maka hukumnya seperti halaman masjid yang lain yang tidak sama dengan hukum masjid.
c.        Menurut madzhab Hambali, setelah tanah tersebut berubah fungsinya menjadi bukan masjid, maka hukumnya juga berubah.
Dasar Pengambilan:
1.        Kitab I'aanatut Thaalibiin juz III halaman 181:
وَلاَ يَنْقُضُ الْمَسْجِدُ اَيِ الْمُنْهَدِمُ الْمُتَقَدِّمُ ذِكْرُهُ فِى قَوْلِهِ " فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ " ، وَمِثْلُ الْمُنْهَدِمِ اَلْمُتَطِّلُ . ( وَالْحَاصِلُ ) اَنَّ هذَا الْمَسْجِدَ الَّذِى انْهَدَمَ اَىْ اَوْ تَعَطَّلَ بِتَعْطِيْلِ اَهْلِ الْبَلَدِ لَهُ كَمَا مَرَّ لاَ يُنْقَضُ اَىْ لاَ يُبْطَلُ بِنَاؤُهُ بِحَيْثُ يُتَمَّمُ هَدْمُهُ فِىْ صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ الْمُنْهَدِمِ اَوْ يُهْدَمُ مِنْ اَصْلِهِ فِى صُوْرَةِ الْمُتَعَطَّلِ ؛ بَلْ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ مِنَ الاِنْهِدَامِ اَوْ التَّعْطِيْلِ . وَذلِكَ لإِمْكَانِ الصَّلاَةِ فِيْهِ وَهُوَ بِهذِهِ الْحَالَةِ وَلإِمْكَانِ عَوْدِهِ كَمَا كَانَ .
"Dan tidak boleh masjid dirusak. Artinya, masjid yang roboh yang telah disebutkan sebelumnya dalam ucapan mushannif "Maka andaikata ada sebuah masjid yang roboh". Masjid yang menganggur adalah seperti masjid yang roboh. Walhasil, sesungguhnya masjid yang telah roboh ini, artinya, atau telah menganggur sebab dianggurkan oleh penduduk desa tempat masjid tersebut berada sebagaimana keterangan yang telah lalu, maka masjid tersebut tidak boleh dirusak, artinya bangunannya tidak boleh dibatalkan dengan jalan disempurnakan penghancurannya dalam bentuk masjid yang roboh, atau dihancurkan mulai dari asalnya dalam bentuk masjid yang dianggurkan. Akan tetapi hukum masjid tersebut tetap dalam keadaannya sejak roboh atau menganggur. Yang demikian itu ialah karena masih mungkin melakukan shalat di masjid tersebut dalam keadaannya yang roboh ini dan masih mungkin mengembalikan bangunannya seperti sediakala".
2.       Kitab As Syarqawi juz II halaman 178:
وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .
"Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya".
3.       Kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 512:
اَرَادَ اَهْلُ الْمَحَلَّةِ نَقْضَ الْمَسْجِدِ وَبِنَاءَهُ اَحْكَمَ مِنَ الاَوَّلِ ، إِنِ الْبَانِى مِنْ اَهْلَ الْمَحَلَّةِ لَهُمْ ذلِكَ ، وإِلاَّ فَلاَ .
"Penduduk suatu daerah ingin membongkar masjid dan membangunnya kembali dengan bangunan yang lebih kokoh dari yang pertama. Jika yang membangun kembali masjid tersebut adalah penduduk daerah tersebut, maka hukumnya boleh, dan jika tidak maka hukumnya tidak boleh".
4.       Kitab Syarhul Kabir juz III halaman 420:
فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ .
"Jika manfaat dari wakat tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual seluruhnya".
1.        Bagaimana hukumnya perkawinan wanita hamil, yang hamilnya sulit untuk dinisbatkan sebelum/sesudah cerai mati/hidup sudah jelas kumpul tidur dengan laki-laki lain? Mohon dijelaskan berkenaan dengan iddah dari wanita tersebut.
2.       Kalau anak yang lahir dari wanita tersebut (no.1) perempuan, siapakah yang berhak menjadi wali nikahnya?
3.       Bagaimana hukumnya wanita hamil (perkawinannya) yang jelas hamilnya hasil zina dengan laki-laki lain, karena wanita itu tak punya suami? Mohon dijelaskan berkenaan dengan apakah wanita itu memiliki masa iddah atau tidak?
4.       Kalau wanita tersebut (no.3) melahirkan anak perempuan, siapakah yang berhak menjadi wali nikahnya?
5.        Kalau suatu perkawinan (sudah dilaksanakan) yang menurut hasil pemeriksaan secara Islam (sebelum dikawinkan) sudah memenuhi syarat dan rukun nikah, tapi setelah selesai beberapa hari dari akad nikah ternyata penentuan walinya salah (tidak sengaja) akibat ada informasi baru dari pihak keluarga yang dapat dibenarkan secara hukum Islam. Hasil pemeriksaan sebelumnya: yang berhak menjadi wali adalah wali hakim, karena dari wali nasab tidak ada sama sekali atau ada tapi tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka:
a.        Bagaimana hukumnya perkawinan tersebut?
b.        Bagaimana cara mengatasinya?
c.        Dalam keadaan yang tidak disengaja, dosakah pemeriksa/wali hakimnya yang mengawinkan, yang sudah mendapat izin mengawinkan dari pihak mempelai perempuan?
6.       Bagaimana hukumnya wali hakim/muhakkam dalam perkawinan berwakil kepada orang lain?
Jawaban:
1.        Dalam hal ini harus dilihat lebih dahulu perceraian wanita tersebut dengan suaminya. Jika cerai karena suaminya mati, maka iddahnya 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 134; dan jika cerai hidup, maka iddahnya adalah 3 kali suci, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228.
Kemudian kita teliti kehamilan wanita tersebut. Jika janin yang ada dalam perut wanita tersebut sudah berumur 4 bulan misalnya, sedangkan dia baru 6 bulan dicerai atau ditinggal mati suaminya, maka berarti kehamilan tersebut dimulai pada waktu wanita tersebut masih dalam waktu iddah; dengan demikian maka janin yang ada dalam perutnya dinisbatkan kepada suaminya yang mati atau menceraikannya, sehingga wanita tersebut harus menjalani iddah sampai melahirkan anaknya.
Jika kehamilannya mulai sesudah iddahnya dari suaminya yang mati atau menceraikannya habis, maka janin yang ada dalam perutnya dihukumi sebagai hasil dari zina dengan laki-laki lain yang mengumpulinya. Dalam hal ini wanita tersebut tidak memiliki iddah meskipun dalam keadaan hamil, artinya boleh dikawin oleh lelaki lain.
2.       Jika janinnya dapat dinisbatkan kepada suaminya yang mati atau menceraikannya, maka walinya adalah wali nasab. Jika janinnya adalah hasil zina, maka yang menjadi wali nikahnya adalah hakim, karena anak tersebut hanya dapat dinisbatkan kepada ibunya saja.
3.       Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai iddah, sehingga dia boleh dikawini oleh laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain dalam keadaan hamil.
Dasar pengambilan:
a.        Kitab al-Madzahibul Arbaah juz 4 halaman 523
أمَّ وَطْءُ الزِّنَا فَإِنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءُهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعى.
Adapun wathi zina (hubungan seksual di luar nikah), maka sama sekali tidak ada iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari zina dan menyetubuhinya sedangakan di dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah menurut madzhab Syafii.
b.       Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 201
(مسألَة ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءٌ الزَّانِى أو غَيْرُهُ وَوَطْءُهَا حِينَئِذٍ مَعَ الكَرَاهَةِ.
(Masalah Syin) Boleh menikahi wanita hamil dari zina, baik oleh laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain; dan boleh menyetubuhi waktu itu dengan hukum makruh.
4.       Yang berhak menjadi wali adalah hakim.
Dasar pengambilan:
Kitab Sunan Ibn Maajah juz 1 halaman 605
... فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَالِيَ لَهُ.
…maka sultan itu adalah wali dari orang yang sama sekali tidak mempunyai wali.
5.         
a.        Hukum pernikahannya batal, karena dinikahkan oleh bukan walinya.
Dasar pengambilan:
Kitab Sunan Ibn Maajah juz 1 halaman 605
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يَنْكِحْهَا الوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمضا اَصَابَ مِنْهَا. فإِنِ اشْتَجَارُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Beliau berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Yang manapun dari seseorang perempuan yang walinya tidak menikahkannya, maka nikahnya adalah batal. Jika laki-lakinya telah menyetubuhinya, maka perempuan tersebut berhak mendapat mahar/maskawin sebab persetubuhan yang diperoleh laki-laki dari perempuan tersebut. Jika diantara anggota keluarga tidak ada yang berhak menjadi wali, maka sultan adalah wali dari orang yang sama sekali tidak mempunyai wali.
b.        Cara mengatasinya adalah harus dilakukan nikah ulang oleh walinya sendiri.
c.        Tidak berdosa, karena tidak disengaja.
6.       Sebagaimana wali nasab boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, maka wali hakim juga boleh mewakilkannya, sebab hakim itu adalah wali yang sah bagi perempuan yang sama sekali tidak mempunyai wali nasab
Saat ini banyak berdiri koprasi simpan pinjam, koprasi yag dimaksud adalah menerima simpanan sekaligus mengasih pinjaman kepada anggota. Dimana peminjam tidak dikenakan "Bunga", namun diharuskan membeli semacam blanko yag harganya bervariasi sesuai dengan besar uang yang dipinjam. Misalnya untuk pinjam uang Rp 50.000,- harus membeli dulu blanko Rp 2.500,-, untuk pinjam Rp 100.000,- blankonya Rp 5.000,- dan seterusnya. Jadi sebelum bendahara menyerahkan uang yang akan dipinjam, pemimjam harus membeli blanko, baru kemudian bendahara menyerahkan uang pinjaman kepada pemimjam, untuk selanjutnya pemimjam mengangsur sebanyak lima kali selama lima minggu tanpa ada tambahan lagi. Sedangkan jumlah uang dari penjualan blanko akan dibagi pada semua anggota sesuai dengan jumlah simpanan/tabungan anggota masing-masing.
Bagaimana hukumnya koperasi simpan pinjam tersebut menurut syari'at Islam?
Jawaban:
Tidak boleh.
حاشية اعانة الطالبين جزء 3 صـ 20
ومنه ربا القرض بأن يشترط فيه ما فيه نفع للقرض
§  Bolehkah memotong rambut dan kuku saat haid? Adakah tuntutannya di akhirat nanti?
§  Halalkah memakan jangkrik?
Jawaban:
§  Disunnahkan untuk tidak dilakukan.
نهاية الزين صــ31
ومن لزمه غسل يسن له الا يزيل شيئا من بدنه ولو دما او شعرا او ظفرا حتى يغتسل لأن كل جزء يعود له فى الآخرة فلو أزاله قبل الغسل عاد عليه الحدث الاكبر تبكيتا للشخص.
Dan seseorang yang berkewajiban mandi disunnahkan baginya untuk tidak menghilangkan sesuatupun dari badannya walaupun hal itu berupa darah, rambut, dan atau kuku sampai orang tersebut mandi, karena setiap bagian tubuh manusia akan dikembalikan kelak di akhirat, Jikalau dihilangkan sebelum mandi maka hadats besar tersebut akan kembali lagi sebagai hujjah yang bisa mengalahkan bagi seseorang.
§  Haram memakan jangkrik.
قليزبى جزء 4 صــ260
(قوله كخفشاء) منها للزعقوق ويسمى الجُعلان بضم الجيم ومنها الجدجد بمعجميين مضمومنين وهو الصرصار
Saya pernah diundang tetangga menghadiri tajdidun nikah (Jawa; mbangun nikah). Bagaimana sebenarnya hal tersebut?
Jawaban:
Khilaf (terdapat perbedaan pendapat Ulama'). Menurut Qaul shahih (pendapat yang benar) hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada 'Akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui 'Aqad itu hanya sekedar keindahan (al-Tajammul) atau berhati-hati (al-Ihtiyath). Menurut qaul lain (pendapat lain) 'aqad baru tersebut bisa mereusak 'aqad yang telah terjadi.
Keterangan dari kitab Hasyaih al-Jamal ala al-Minhaj juz IV hal. 245
حاشية الجمل على المنهج الجزء الرابع صحيفة 245
وعبارته: لأن الثاني لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ
الأنوار لأعمال الأبرار ج-7 ص: 88

لو جدد رجل نكاح زوجته لزمه مهر أخر لأنه إقرار في الفرقة وينتقص به الطلاق ويحتاج إلي التحليل في المرة الثالثة.
Seandainya seseorang memperbaharui nikah dengan istrinya maka wajib baginya membayar mahar lagi karena hal tersebut merupakan penetapan didalam perceraian (al-Firqati
Di daerah Tuban, sudah banyak orang yang mempunyai peternakan jangkrik dan banyak yang mencarinya setiap malam kemudian dijual. Bagaimana hukumnya menjual jangkrik, dan uangnya termasuk uang apa?
Jawaban:
Hukum membudidayakan jangkrik itu adalah boleh, Sedangkan jual beli jangkrik hukumnya juga boleh.
Dasar pengambilan:
1. المغنى على شرح الكبير الجزء الرابع -صحيفة: 239
وَلَنَا أَنَّ الدُّوْدَ حَيَوَانٌ طَاهِرٌ يَجُوْزُ إِقْتِنَاءُ هُ لِتَمَلُّكِ مَا يُخْرَجُ مِنْهُ أَشْبَهَ الْبَهَائِمِ
2. البيجورى الجزء الاول - صحيفة:343
وَلاَبَيْعُ مَا لاَمَنْفَعَةَ فِيهِ كَعَقْرَبٍ وَنَمْلٍ
Dengan makin maraknya sholawatan/qosidah sekarang ini. Tentu saja membantu membangkitkan rasa cinta kepada Rosalullah. Namun yang menjadi permasalahan adalah sarana pengiringnya, di mana sekarang peralatan musik beraneka ragam bentuknya, tidak hanya rebana saja sebagaimana di zaman Rosullah.
Bagaimana hukumnya melantunkan sholawat/qosidah dengan diiringi musik selain rebana? Misalnya organ, piano, mandolin dan sebagainya.

Jawaban:
إرشاد العباد
(الأصوات المحرمات) المطربة, وغيرها من الأوتار, وغيرها لأن اللذة الحاصلة منها تدعو إلي فساد كضرب خمر ولأنها شعار أهل الفسق كما مر.
(Suara-suara yang diharamkan) Suara biduanita, gitar dan sejenisnya, karena kenikmatan yang diperoleh bisa mendatangkan kerusakan seperti minum arak (minuman keras) dan hal tersebut merupakan syiar orang-orang yang fasik sebagaimana yang telah terdahulu.
إرشاد العباد، ص:102
(إلات اللهو المحرمة كالطنبور والرباب والمزمار) بل (و) جميع الأوتار.
(Alat-alat Lahwi (alat musik untuk permainan) yang diharamkan adalah genderang, rebana, dan seruling) dan bahkan semua alat musik yang menggunakan tali (biasanya terbuat dari senar atau kawat)
Kebiasaan dimasyarakat bahwa zakat fitrah itu 2,5 kg beras atau uang seharga beras itu. Sepengetahuan saya, bahwa dalam kitab Fathul Mu'in menyebutkan , zakat fitrah itu 1 sho' (1 sho' = 4 mud, 1mud = 1 liter lebih sepertiga) dan yang dizakatkan adalah Gholibi quuti baladihi (makanan pokok daerahnya).
1. Benarkah zakat fitrah beras 2,5 kg tersebut?
2. Bolehkan dengan memakai uang seharga beras? Bagaimanakah dalilnya?
3. Bagaimana sholatnya sopir/pengemudi yang setiap harinya (waktu sholatnya) selalu diperjalanan?
Jawaban:
1. Benar
2. Tidak boleh, namun ada qoul yang memperbolehkan yaitu qoulnya Imam Bulqini dan qoul ini boleh diikuti.
Keterangan dari kitab Ghoyatu al- Talhishi al- Murad 112
أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.
Imam al-Bulqiny telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang Aku (pengarang) telah menyakininya, Aku mengerjakanya meskipuin hal itu bertentangan dengan Madzhab al-Syafi'i , Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan didalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi didalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak emendapatkan penggatinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena Dia termasuk golongan ahli al-Tahrij dan al-Tarjih, Apalgi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut.
3. Boleh diqoshor
حاشية البيجورى جزء 1 صـ298
وخرج بقولنا: ولم يختلف فى جواز قصره .من اختلف فى جواز قصره كملاح يسافر فى البحر ومعه عياله فى سفينة ومن يديم السفر مطلقا كالساعى فإن الاتمام افضل له خروجا من خلاف من اوجبه كالإمام احمد رضي الله عنه
Di desa saya ada sebuah masjid kuno yang kondisinya agak memperhatinkan. Kemudian masyarakat sepakat untuk memperbiki denga cara mengganti secara total bangunan masjid itu. Dengan demikian banyak bangunan masjid tersebut yang tidak terpakai.
Menurut keyakinan orang ditempat saya, bahwa benda-benda bekas masjid (misalnya genteng, kayu, bata dan sebagainya) tidak boleh dipakai untuk keperluan lain (misalnya untuk rumah), apalagi dijual tambah tidak boleh. Pokoknya, kalau ditanya alasannya, mereka menjawab ora apik, barang masjid kok didol (tidak baik, barang masjid kok dijual).
Tapi dipihak lain, jika barang itu tidak dimanfaatkan (misalnya, diberikan orang yang tidak mampu atau dijual kemudian uangnya masuk kekas masjid) akan hancur dimakan hujan atau rusak dengan sendirinya.
Pertanyaan saya, betulkah benda masjid itu mengandung kekuatan ghaib, sehingga orang-orang mempercayainya sebagai sesuatu yang tidak baik jika dimanfaatkan oleh orang lain? Apakah ada dalilnya tentang masalah ini? Lalu lebih baik mana antara dibiarkan dengan dimanfaatkan?
Jawaban:
Saudara yang terhormat. Menjawab pertanyaan Anda mengenai kebenaran bahwa benda masjid mengandung kekuatan gaib. Sehingga orang-orang mempercayainya sebagai sesuatu yang tidak baik jika dimanfaatkan oleh orang lain, atau lebih tepatnya untuk kepentingan orang lain.
Di sini perlu kami tegaskan, bahwa benda masjid itu tidak mempunyai kekuatan gaib yang berakibat tidak baik bagi pemakainya. Islam tidak mengenal bahkan menolak anggapan tersebut. Kalau orang-orang ditempat Anda berkeyakinan bahwa benda-benda bekas masjid tidak boleh dijual atau lainnya dengan alasan, 'Ora apik, barang masjid kok didol' sebenarnya keyakinan tersebut mempunyai landasan agama yang kuat.
Sebab dalam agama Islam, barang yang sudah diwakafkan, itu tidak boleh dijual atau diberikan kepada orang lain, sebagaimana tersebut dalam kitab fiqh. Sehingga jika meminjam barang wakaf masjid misalnya pengeras suara kita bawa pulang kemudian kita setel (kita pakai) di rumah kita, maka hukumnya haram (yang diterjemahkan oleh orang-orang di kampung saudara dengan kata 'ora apik')
Adapun jika saudara menanyakan mana yang lebih baik, apakah benda-benda bekas masjid tersebut dibiarkan saja sampai hancur tanpa guna ataukah dimanfaatkan?
Jika kita mau memakai madzhab Syafi'i dan tidak mau berpindah ke madzhab lain dalam masalah ini, maka benda-benda tersebut harus kita biarkan saja sampai hancur dengan sendirinya. Atau diberikan ke masjid lain yang memerlukannya.
Jika orang-orang kampung Anda mau berpindah ke madzhab Hanafi, maka benda-benda tersebut dapat kita tukarkan dengan benda lain yang dapat dimanfaatkan oleh masjid tersebut dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam fiqh-fiqh Hanafi, misalnya kitab Raddul Mukhtar juz 3 hal 387
Deskripsi masalah :
1.        Bagaimana caranya supaya qurban sunah bisa terhindar dari wajib, sehingga saya bisa makan dagingnya hingga 1/3 bagian?
Jawaban
1.        Karena pertanyaan saudara sangat erat hubungannya dengan masalah nadzar maka sebaiknya kita tinjau dulu bagaimana nadzar bisa terjadi.
a.        Penjelasan kitab Bajuriy juz 2 halaman 329:
وَأرْكَانُهُ ثَلاَثَةٌ: نَاذِرٌ وَمَنْذُورٌ وَصِيْغَةٌ ... وَفِى الصِّيغَةٍ كَونُهَا لَفْظًا يُشْعِرُ بِاللإلْتِزَامِ وَفِى مَعْنَاهُ مَا مَرَّ فِى الضَّمَانِ كَللَّهِ عَلَيَّ كَذَا وَعَلَيَّ كَذَا فَلاَ تَصِحُّ بِالنِيَّةِ كَسَائِرِ العُقُودِ وَلاَ بِمَا لاَيُشْعِرُ بِالإلْتِزَامِ كَأَفْعَلُ كَذَا.
Rukun-rukun nadzar ada tiga: 1. orang-rang yang nadzar 2. perkara yang dinadzari 3. sighat (ucapan yang menunjukkan nadzar)' Dalam masalah sighat, adalah adanya lafal (ucapan) yang menunjukkan adanya penetapan dan dalam pengertian penetapan (mewajibkan) ini adalah keterangan bab dlaman (tanggungan). Yaitu seperti kata 'Demi Allah wajib atasku perkara seperti ini atau wajib atasku perkara seperti ini. Maka sighat tidak sah hanya sekedar niat (tanpa diucapkan), sebagaimana juga tidak sah semua aqad hanya dengan niat. Juga tidak sah sighat yang tidak menunjukkan penetapan (mewajibkan) seperti ucapan: 'Saya melakukan seperti ini'.
b.       Kitab Tadzhib halaman 254:
... وَشَرْعًا الوَعْدُ بِالخَيْرِ خَاصَّةُ أو اِلْتِزَامُ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ بِأصْلِ الشَّرْعِ... وَالثَّانِى أنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعَلَّقٍ كَأنْ يَقُولَ للهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أو حَجٌّ أو غَيْرُ ذَلِكَ.ٌ و َجٌّ و َيْرُ َلِكَ..
'Pengertian nadzar secara syara' berarti janji melakukan kebaikan tertentu atau menetapkan (mewajibkan dirinya) melakukan perkara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang perkara tersebut pada hukum asalnya tidak wajib' Yang kedua: adanya nadzar tersebut tidak diambangkan/digantungkan pada sesuatu seperti ucapan: 'Demi Allah, wajib bagiku puasa atau haji atau yang lainnya.
2.       Selanjutnya marilah kita perhatikan ucapan-ucapan Jumhurul Ulama' (mayoritas ulama) pada keterangan di bawah ini mengenai nadzar dan qurban:
a.        Kitab Bajuriy juz 2 halaman 310:
وَقَولُهُ مِنَ الأُضْحِيَّةِ المَنْذُورَةِ اى حَقِيْقَةً كَمَا لَو قَالَ: للهِ عَلَيَّ ان أُضْحِيَ بِهَذِهِ, فَهَذِهِ مُعَيَّنَةٌ بِالنَذْرِ إبْتِدَاءً, كَمَا لَو قَالَ للهِ عَلَيَّ أُضْحِيَّةٌ... أوْ حُكْمًا كَمَا لَوْ قَالَ هَذِه اُضْحِيَةٌ اَو جَعَلْتُ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ فَهَذِهِ وَاجِبَةٌ بِالجَعْلِ لَكِنَّهَا فِى حٌكْمِ المَنْذُرَةِ.
Yang termasuk qurban nadzar sebenarnya adalah seperti apabila seseorang berkata: 'Demi Allah wajib atasku berqurban dengan ini' maka ucapan itu jelas sebagai nadzar sejak awal. Hal ini sebagaimana apabila seseorang berkata 'Demi Allah wajib atasku qurban" atau secara hukum sebagai nadzar. Seperti bila seseorang berkata: Ini adalah hewan qurban' atau diucapkan 'Aku menjadikan ini sebagai hewan qurban'. Maka ini adalah wajib disebabkan kata 'menjadikan', akan tetapi dalam konteks hukum yang dinadzari.
b.       Kitab Bajuriy juz II halaman 305
... مِنْ قَوْلِهِمْ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ, تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ الأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يَقْبَلُ قَولُهُمْ, أرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ وَقَالَ الشِبْرَامَلِسِى: لاَيَبْعُدُ اِغْتِفَارُ ذَلِكَ العَوَام وَهُوَ قَرِيْبٌ... نَعَمْ لاَتَجِبُ بِقَولِهِ وَقْتَ ذَبْحِهَا: اللَّهُمَّ هَذِهِ اُضْحِيَتِى فَتَقَبَّلْ مِنِّى يَاكَرِيْمُ.
'Dari perkataan orang-orang, 'Ini adalah hewan qurban,' maka hewan qurban tersebut menjadi wajib. Tersebab perkataan itu haram hukumnya memakan dagingnya. Tidak diterima alasan (atas perkataan itu) mereka 'Aku menghendakinya sebagai qurban sunah' Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama. Imam Sibromalisi berkata: '(Tetapi) bagi orang awam (orang yang belum mengetahui hukum ucapan tersebut) mudah untuk dimaafkan. Perkataan Imam Sibromalisi ini mudah untuk difahami (diterima)' Memang demikianlah hukumnya, namun qurban tidak menjadi wajib sebab ucapan orang waktu menyembelihnya: Ya Allah ini adalah hewan qurbanku, maka semoga Engkau menerimanya dariku, wahai Dzat Yang Maha Mulia'.
c.        Kitab Sulaiman Kurdi juz 2 halaman 204
وَقَالَ العَلاَّمَةُ السَّيِّد عُمَرُ البَصْرِى فِى حَوَاشِ التُّحْفَةِ يَنْبَغِى أَنْيَكُونَ مَحَلُّهُ مَالَمْ يَقْتَصِدُ الأَخْبَارُ فَإنْ قَصَدَهُ اى هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِى أُرِيْدُ التَّضْحِيَةِ بِهَا فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الجَوَابُ كَذَالِكَ فِى نَازِلَةٍ وَقَعَتْ لِهَذَا الحَقِيْر وَهِيَ اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَحْصٌ آخَرَ فَقَالَ مَاهَذِهِ فَقَالَ أُضْحِيَتِى.
Al Allamah As Sayid Umar Al Bashriy berkata dalam komentar atas kitab Tuhfatul Muhtaj: Seyogyanya letak status nadzar itu ialah selagi tidak bermaksud memberi kabar. Kemudian jika memang bermaksud memberi kabar, 'Kambing ini yang saya maksudkan untuk qurban', maka tak ada penentuan dan berlaklkan jawaban. Demikian pula dalam peristiwa yang terjadi pada seorang yang naif ini, yakni seseorang membeli kambing untuk digunakan qurban lalul bersua dengan seseorang lain kemudian bertanya: 'Apa ini?' Maka jawab si orang tadi: 'Qurbanku'.
3.       Dari keterangan-keterangan tersebut, maka dapat dijelaskan di sini, bahwa pertanyaan Anda yang pertama mengenai pendapat Pak Kyai tetangga saudara itu bisa dianggap benar. Karena jawaban saudara ada kata 'menjadikan', yang mempunyai makna sama dengan nadzar. Kata menjadikan yang berkonotasi mewajibkan hewan tersebut untuk qurban (Bajuri 2:310). Akan tetapi bisa juga jawaban Anda itu tidak mengubah qurban Anda menjadi nadzar karena ketidaktahuan Anda. Hal tersebut berpegang pada pendapat Imam Syibromalisi dan pendapat Sayid Umar al-Bashriy: bahwa jawaban saudara tersebut hanya bermaksud memberi kabar.
4.       Untuk pertanyaan Anda yang kedua, bisa membaca lagi keterangan masalah nadzar tadi.
5.        Untuk pertanyaan ketiga, Anda bisa berpegang pada keterangan Sayid Umar al-Bashriy.
Yang perlu diingat, beribadah itu tidak sulit dan tak perlu dipersulit. Niatlah yang ikhlas semata karena patuh kepada Allah
Deskripsi masalah :
1.        Rumah saya berdekatan dengan masjid, namun saya sering salat berjamaah di rumah bersama istri dan anak-anak. Kemudian ada orang mengatakan, bila rumah seseorang dekat dengan masjid jarak 40 rumah ke arah timur, barat, utara dan selatan, maka salat jamaah di rumah tetap mendapat dosa, sekalipun salatnya sah. Karena di masa nabi, beliau tidak pernah salat berjamaah kecuali di masjid. Yang ingin saya tanyakan adalah:
a.        Apakah salat saya bersama keluarga di rumah bisa diterima, dengan alasan membimbing isteri dan anak?
b.       Benarkah perkataan orang itu? jika benar apa alasannya?
2.       Saya pergi ke masjid pada hari Jumat, pada waktu itu khatib sudah di atas mimbar dan membaca khutbah. Yang saya tanyakan:
a.        Apakah kita masuk langsung duduk atau melakukan salat?
b.       Kalau salat, salat apa yang harus dikerjakan?
Jawaban
1.        Untuk menjawab pertanyaan saudara yang pertama, perlu kiranya kami ketengahkan hadist-hadist Nabi saw, antara lain:
a.        Hadist riwayat Abu Dawud dari Ibn Ummi Maktum sebagaimana tersebut dalam kitab Irsyadul Ibad halaman 23, yang artinya kurang lebih:

Sesungguhnya Ibn Ummi Maktum telah datang kepada Nabi saw, kemudian berkata: 'Wahai Rasulullah sesungguhnya di kota Madinah ini, banyak binatang melata dan binatang buas. Sedangkan saya adalah orang yang buta lagi jauh rumahnya, dan saya mempunyai teman yang selalu menuntun saya! maka adakah keringanan bagiku untuk salat di rumahku?'. Nabi bersabda:'Apakah engkau mendengar adzan?' Dia menjawab:' Ya!' Nabi bersabda: 'Engkau wajib datang ke masjid. Sesungguhnya aku tidak mendapatkan keringanan bagimu!'
b.       Dalam kitab Majmu' karangan Imam Ahmad Ibn Zaini Dahlan salah seorang mufti madzhab Syafi'i di Makkah, halaman 22, beliau mengemukakan sebuah hadist Nabi saw, sebagai berikut:
لاَصَلاَةَ بِجَارِ المَسْجِدِ إلاَّ فِى المَسْجِدِ
'Tidak ada salat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid'.
Arti dari 'tidak ada salat' dalam hadist di atas, menurut madzhab Syafi'i adalah "Tidak ada salat itu diberi pahala". Sedangkan menurut madzhab lainnya ada yang mengatakan 'tidak ada salat itu sah'

Jadi meskipun salat saudara beserta anak dan isteri di rumah itu sah, namun tidak ada pahalanya. Sedang pengertian 40 rumah adalah diambil dari pengertian tetangga (kitab Taisirul Kholaq halaman 8).
c.        Dalam kitab Kifayatul Akhyar juz 1 halaman 133 disebutkan:
الجَمَاعَةُ تَحْصُلُ بِصَلاَةِ الرَجُلِ فِى بَيْتِهِ مَعَ زَوْجَتِهِ وَغَيْرِهَا وَلَكِنَّهَا فِى المَسْجِدِ أفْضَلُ.

Berjamaah itu dapat berhasil dengan salat seseorang di rumahnya bersama isterinya dan lainnya. Akan tetapi berjamaaah di masjid itu lebih utama.
2.       Dari dalil-dalil yang telah kami kemukakan di atas, kiranya pertanyaan saudara nomer 1.a. dan 1.b. sudah terjawab.
3.       Untuk menjawab pertanyaan nomer 2, baiklah kami tuliskan hadist Nabi saw sebagimana diriwayatkan oleh Jabir RA:
 قَالَ: إذَا جَاءَ أحَدُكُمْeأَنَّ رَسُولَ اللهِ  وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَاليُصَلَّ رَكْعَتَيْنِ.
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: 'Jika salah seorang dari kalian datang di masjid pada hari Jum'at, sedangkan imam berkhutbah, maka hendaklah dia salat dua rokaat'.
Menurut pengarang kitab al Muhadzdzab, niat dari salat tersebut adalah salat tahiyatul masjid. Salat tersebut dilakukan jika imam tidak di akhir khutbah
Deskripsi masalah :
1.        Makanan mereka (orang kristen) yang bagaimana yang dihalalkan? Sebab ada makanan dari sembelihannya dan ada yang tidak, seperti kue dan sebagainya.
2.       Ucapan salam yang mana? Assalamu'alaikum atau yang lainnya?
Jawaban:
1.        Yang kami maksudkan dengan makanan pemberian orang nasrani yang halal kita makan, ialah makanan yang jelas kesuciannya, seperti tempat memasak makanan tersebut tidak pernah kena najis dari babi atau lainnya. Bukan pula makanan dari sembelihannya. Sebab sembelihan ahli kitab yang halal kita makan adalah ahli kitab yang tidak musyrik sedang ahli kitab yang telah musyrik maka telah menjadi kafir, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al Maidah 73 yang antara lain berbunyi:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوا إنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari Tuhan yang tiga.
2.       Ucapan salam yang boleh kita berikan kepada orang non muslim yang jelas bukanlah Assalamualaikum karena mengucapkan salam kepada mereka itu, dengan salam seperti salam tersebut hukumnya haram. Jadi yang boleh adalah ucapan salam dengan bentuk lain
Deskripsi masalah :
1.        Bagaimana yang sebaiknya harus kami ucapkan sebagai seorang muslim dari kalimat-kalimat ini. Contoh, kenikmatan dan rizki ini dari Tuhan Yang Maha Esa, atau dari Nya, dari Tuhan Allah swt, dari Tuhan Allah.
2.       Ada berapa macam zakat itu? bagaimana realisasinya? apa hubungannnya antara zakat fitrah dan zakat maal? Sahkah istilah latihan zakat? Bagaimana hukumnya zakat dari potong gaji?
3.       Apa bedanya qurban Idul Adha, qurban aqiqah dan qurban nadzar?
4.       Bolehkah yang berkorban ikut makan. Bolehkah qurban urunan dan arisan dan latihan qurban?
Jawaban
1.        Untuk menjawab pertanyaan saudara yang pertama, kami tuliskan ibarat dari kitab Kasyifatus Saja, syarah dari kitab Safinatun Naja halaman 3 sebagai berikut:
وَأحْسَنُ العِبَارَاتِ فِى ذَلِكَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ
'dan sebaik-baik ungkapan dalam menyatakan syukur atas kenikmatan adalah 'segala puji bagi Allah, Tuhan Sekalian Alam'.
2.       Untuk pertanyaan kedua, kalau kami jawab secara terperinci, maka akan merupakan sebuah kitab yang lumayan tebalnya. Oleh karena itu akan kami ringkas sebagai berikut:
a.        Zakat itu ada dua macam: 1. Zakat Fitrah, 2 Zakat Maal (Harta) yang terdiri dari 6 macam, yaitu a. zakat emas dan perak termasuk didalamnya zakat uang, b. zakat binatang ternak, c. zakat rikaz, d. zakat harta dagangan e. zakat tanaman dan tumbuhan dan f. zakat piutang.
b.       Realisasi dari zakat-zakat tersebut sudah diatur dan diuraikan dalam kitab fiqh (silahkan mempelajarinya). Istilah 'latihan zakat'tidak dikenal dalam agama Islam. Tetapi yang Anda maksud mungkin adanya penyaluran zakat fitrah yang dikelola sekolah bagi muridnya. Oleh para guru dimaksudkan sebagai latihan zakat, tetapi hakekatnya zakat fitrah yang sebenarnya juga.
c.        Mengenai zakat dari potong gaji, maka kami perlu kami informasikan bahwa selama kami menjadi pengawai negeri dan gaji kami dipotong untuk zakat fitrah, maka potongan tersebut selalu kami anggap sedekah saja. Sebab untuk menamakannya sebagai zakat, kami menemui dua kesulitan pokok: a. kesulitan untuk berniat, sebab sudah dipotong lebih dahulu. Jadi kami tidak merasa menyerahkan. b. potongan tersebut biasanya selalu memakai standar harga beras jatah. Padahal beras yang kami makan sehari-hari mutunya jauh lebih tinggi dari beras jatah, sehingga karenanya zakat kami tersebut menjadi tidak sah. Sebab zakat fitrah itu mutunya paling tidak harus sama dengan yang dimakan sehari-hari. Belum lagi ditambah dengan pendapat madzhab Syafii yang menyatakan fitrah itu harus berupa barang makanan sehari-hari dan tidak boleh diganti dengan harganya.
d.       Apalagi kami juga tidak tahu apakah orang yang menerima zakat kami tersebut berhak menerima atau tidak menurut syariat Islam. Hal ini mengingat setahu kami yang mengurus juga orang-orang yang tidak pandai mengenai hukum zakat. Jadi kami selalu zakat lagi sesuai dengan keyakinan dan kemantapan hati kami.
3.       Untuk pertanyaan ketiga, jawabannya sebagai berikut:
a.        qurban ialah binatang (kambing, sapi, unta, kerbau) yang disembelih pada hari raya idul adha atau pada hari tasyrik
b.       qurban ini asal hukumnya menurut madzhab Syafii adalah sunah, kecuali jika qurban itu dinadzarkan, maka hukumnya menjadi wajib.
c.        untuk qurban sunah, orang yang berqurban boleh ikut makan dagingnya sampai 1/3. Yang 1/3 boleh dihadiahkan kepada orang-orang yang mampu, sedang yang 1/3 dibagikan kepada fakir miskin.
d.       Jika qurban itu wajib, maka semua daging sampai dengan kulit dan tanduknya harus disedekahkan
Deskripsi masalah :
Ada sepasang suami isteri A dan B. pada awalnya pasangan ini termasuk keluarga yang sakinah. Namun setelah dikaruniai dua orang anak timbul titik-titik perpecahan yang mengarah kepada perceraian. Pasalnya tanpa sepengetahuan B ternyata A kawin lagi dengan C. Setelah B dapat memastikan bahwa A memang benar kawin lagi dengan c, akhirnya B minta cerai. Permintaan ini dikabulkan oleh A. A mentalak b dengan talak satu.
Sebulan kemudian setelah A mentalak B, anak-anak dari A dan B membujuk kedua orang tuanya agar ruju'. Namun sebelum ruju' dilaksanakan, B mengajukan sebuah syarat. B mau rujuk asalkan A menceraikan C.
Dihadapan B, A menyetujui syarat yang diajukan B. namun ternyata A ingkar janji. A tidak menceraikan C.
Pertanyaan saya adalah
1.        Apakah yang dimaksud ta'liq?
2.       Apakah syarat yang diajukan b ketika ruju' dengan a termasuk ta'liq?
3.       Jika ternyata A betul-betul tidak menceraikan C, sahkah ruju' A dan B?
Jawaban:
1.        Yang dimaksud dengan ta'liq (bukan takliq), ialah menggantungkan sesuatu pekerjaan dengan sesuatu kejadian yang lain. Misalnya ada seorang suami mengatakan kepada isterinya: ' Engkau saya talak atau saya cerai jika engkau masuk ke kamar saya!' dalam hal ini jika ternyata sang isteri masuk kamar sang suami, maka jatuhlah talak dari sang suami kepada sang isteri tersebut.
2.       Syarat yang diajukan di luar ijab dan qobul atau di luar aqad, baik aqad nikah atau aqad lainnya, maka hukumnya tidak mempengaruhi keabsahan dari akad itu sendiri. Adapun syarat yang diajukan oleh B ketika ruju' dengan A tidak termasuk ta'liq, sebab yang melakukan sighat ruju' adalah sang suami.
3.       Jika ternyata A betul betul tidak menceraikan C, maka ruju' si A kepada si B tetap sah. Untuk lebih mantabnya saudara kami persilahkan menelaah ibarat yang tersebut dalam kitab I'anatut Thalibin juz 4 halaman 30.
وَلاَيَصِحُّ تَعْلِقُهَا اى صِيغَةُ الرَجْعَةِ وَمِثْلُ التَعْلِيقِ التَّأقِيْتُ فَهُوَ لاَيَصِحُّ اَيْضًا كَرَاجَعْتُكِ شَهْرًا. وَقَوْلُهُ كَرَاجَعْتُكِ الخ تَمْثِيْلٌ لِتَّعْلِيْقِ
dan tidak sah ta'liq dari sighat ruju'. Dan seperti ta'liq adalah menentukan waktu,maka hukumnya juga tidak sah, misalnya seorang suami mengatakan kepada isterinya:'saya merujuk engkau dalam waktu satu bulan !'. ucapan pengarang 'aku merujuk engkau'dst' adalah perumpamaan dari ta'liq

Deskripsi masalah :
Pernah pak guru menerangkan kepada kami bahwa, bagi seorang yang berobat kerumah dukun guna mengobatkan sakitnya sedang dukun tersebut memakai bantuan syaitan yang orang-orang menyebutnya dengan istilah dukun bancik dan secara kebetulan sakit yang diobatkan sembuh.
Maka menurut dawuh pak guru kepada kami, bahwa kelak orang tersebut kalau meninggal akan dikumpulkan bersama sama dengan syaitan dan dijadikan pelayan oleh syaitan, karena dukun tersebut dibantu oleh syaitan.
Pertanyaan saya adalah, benarkah penuturan pak guru tersebut? jikalau memang benar mohon diterangkan dalil-dalil yang menunjukkan atau yang membenarkan, dan terdapat di kitab apa?
Sekian pertanyaan dan permohonan kami. Atas jawabannya kami ucapkan banyak terima kasih. Dan bila ada kata-kata kami yang salah, atau tidak berkenan dihati bapak, maka kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Jawaban:
Dalam kitab Irsyadul Ibad ada hadist Nabi saw, yang menerangkan bahwa seseorang yang datang ke dukun, maka salatnya 40 hari 49 malam tidak diterima oleh Allah, dan apabila petunjuk-petunjuk atau nasihat atau syarat-syarat yang telah ditentukan oleh sang dukun tersebut diikuti atau ditaati, maka orang yang mengikuti atau mentaati tersebut dianggap kufur.
Masalah orang yang diobatkan kepada dukun kebetulan sembuh, maka kesembuhan tersebut memang sudah waktunya diberikan oleh Allah, sehingga apabila dia berobat kelain dukun tersebutpun akan sembuh juga, karena kesembuhan itu pada hakekatnya hanya dari Allah, sebagaimana tersebut dalam hadist-hadist Nabi saw yang dapat kita baca dalam kitab Riyadus Shalihin. Catatan: dukun dalam pengertian jawaban ini adalah orang yang biasa memberi pengobatan dengan menggunakan suwuk yang meminta jasa syaitan

Deskripsi :
1.        Apabila pegawai negeri meninggal dunia, isterinya mendapat: a) uang pensiun; b) uang asuransi; c) uang tabungan asuransi pensiun; d) sumbangan dari masyarakat. Yang ingin kami tanyakan uang manakah yang termasuk tirkah yang harus dibagi secara Islam (faraid).
2.       Sementara itu, dalam peraturan Taspen ada kalimat: 'Apabila pegawai negeri sipil/pejabat negara meninggal dunia sebelum pensiun, maka PT. Taspen (perseroan) akan membayar tunjangan hari tua, asuransi, kematian dan pensiun; janda/duda/yatim piatu pertama (apabila THT dan Askam belum dibayarkan).
Untuk itu tolong pak Kyai,masalah ini saya tanyakan supaya kami dapat mengerti benar. Ini sering terjadi, tetapi orang-orang masih belum tahu persis hukumnya. Sekian pertanyaan kami, atas perkenan Kyai kami haturkan banyak terima kasih.
Jawaban:
Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, maka terlebih dahulu kami ketengahkan dalil-dalil nas kitab-kitab, sebagai berikut:
1.        Kitab Ianatut Thalibin juz III halaman 233:
وَ التِّرْكَةُ مَا خَلَفَهُ المَيِّتُ مِنْ مَالٍ اَوْ حَقٍّ
Tirkah (harta peninggalan) itu ialah apa yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta atau hak.
2.       Kitab At Ta'rifat halaman 49
التِّرْكَةُ هُوَ المَالُ الصَّافِى أَنْ يَتَعَلَّقَ حَقَّ الغَيْرِ بِعَيْنِهِ
Tirkah adalah harta yang bersih dari keterkaitan hak orang lain.
3.       Kitab Nihayatul Muhtaj juz VI halaman 3:
(مِنْ تِرْكَةِ المَيِّتِ) وَهِيَ مَا يَخْلُفُهُ مِنْ حَقٍّ كَجِنَايَةٍ وَحَدِّ قَذَفٍ أوْ إِخْتِصَاصٍ أو مَالٍ كَخَمْرٍ تَخَلَّلَتْ بَعْدَ مَوْتِهِ وَدِيَةٍ أُخِذَتْ مِنْ قَاتِلِهِ لِدُخُولِهَا فِى مِلْكِهِ وَكَذَا مَا وَقَعَ بِشَبَكَةٍ نَصَبَهَا فِى حَيَاتِهِ عَلَى مَا قَالَهُ الزَّرْكَشِى.
Diantara tirkah mayit ialah apa yang ditinggalkan oleh mayit mengenai hak, seperti: jinayah, hukuman tuduhan zina, atau wewenang atau harta seperti arak yang telah berubah menjadi cuka setelah kematian dan harta tebusan yang diambil dari orang yang membunuhnya, karena harta tersebut masuk dalam miliknya. Demikian pula ikan yang masuk ke dalam jaring yang dipasang pada waktu hidupnya, menurut pendapat Az Zarkasyi.
Dari keterangan kitab-kitab tersebut di atas, maka: 1) >Uang pensiun janda, 2) Uang asuransi, 3) Taspen (Tabungan asuransi Pensiun), sekilas adalah merupakan harta warisan (tirkah) dari sang suami yang meninggal dunia. Akan tetapi jika kita teliti peraturan Pemerintah mengenai ketiga hal tersebut di atas bukan merupakan harta tirkah, karena ada keterkaitannya dengan hak orang lain. Seperti isteri dan anak-anak.
Mengenai uang sumbangan dari masyarakat, maka yang jelas sumbangan tersebut menjadi hak milik keluarga yang ditinggalkan, karena niat masyarakat menyumbang tersebut adalah kepada para ahli waris yang ditinggal mati dan bukan kepada si mayit

Deskripsi :
1.        Bagaimana hukumnya salatnya salat Jum’at dengn cara melihat imam di TV sedang imam yang asli bermakmum di atas (masjid bertingkat) dan makmum yang berada di bawah dengan melihat imam yang berada/ yang kelihatan di dalam televisi tersebut.
2.       Sahkah salat jum’at tersebut bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Shalat Jum’at tersebut sah! Jika imam dan makmum tersebut berada dalam satu masjid, maka hukumnya boleh!
Dasar pengambilan hukum:
1.        Kitab Nihayatuz Zain halaman 121:
وَ الثَاِ‎‎‎ لثُ (عِلمٌ بِنتِقَا لاَتِ اِمَامٍ) بِرُؤ يةِ صَفِّ اَو بَعضِهِ اَو سِمَا عِ صَو تِهِ ……
Dan yang ketiga dari syarat-syarat makmum adalah mengetahui perpindahan-perpindahan imam (dari satu rukun ke rukun lain) dengan melihat imam tersebut atau melihat shaf di mukanya atau melihat sebagian dari shaf atau mendengar suara imam.
2.       Kitab Nihayatuz Zain halaman 122
(فَاءِن كَانَ فِي مَسجِدٍ ) فَالمَدَارُ عَلَى العِلمِ بِا لاِْ نْتِقَالاَتِ بِطَرِيْقٍٍ مِنَ الطُرُقِ الْمُتَقَدَّ مَةِ وَحِنَئِدٍ (صّحَّ الاِقْتِدَأُ )…وَلَوْ كَانَ اَ حَدُهُمَا بِعُلُوِّ كَسَطْحِ المَسْجِدِ اَوْ مَنَا رَتِهِ وَالاَ خَرُ بِسُفْلٍ كَسَرَادِبِهِ اَوْبِئْرٍ فِيْهِ لاَيَضُرُّ.
Maka jika keduanya (imam dan makmum) berada di sebuah masjid, maka yang menjadi pokok pembahasan atas pengetahuan dengan perpindahan-perpindahan adalah dengan salah satu cara dari cara-cara yang telah disebutkan. Dan pada saat itu, maka sah mengikuti imam… Dan andaikata salah seorang diantara keduanya (makmum dan imam) berada di atas seperti loteng masjid atau menaranya, sedang yang lain berada di bawah seperti bangunan bawah tanah tersebut, maka hal itu tidak merusak keabsahan bermakmum
Deskripsi :
1.        Si Fulan rumahnya di pinggir sungai. Ia menanami tepi sungai dengan tanaman air seperti enceng gondok, kerangkong dll. Tanaman tersebut terus berkembang biak sehingga menjadi luas. Pada bagian tepinya ia gunakan untuk buang sampah, kadang-kadang ia juga menebang pohon di tepi sungai, kemudian dilemparkan di atas enceng gondok tersebut.
Dari tumpukan sampah dan daun yang membusuk, serta endapan lumpur ahirnya tanah pak fulan ber tambah luas menjorok ke sungai. Tanah yang semula lokasi sungai berubah menjadi miliknya. Rumah yang dulu di pinggir sungai, kini bisa menambah beberapa kamar lagi berkat keberhasilan pak fulan menguruk sungai tersebut.
Bagaimana hukumnya mendapatkan tanah dengan cara tersebut? Mohon disertai dasar pengambilannya.
2.       Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Namun dalam budaya kita (termasuk di dalamnya ustadzah, pengurus Muslimat, bu Nyai, dll) mereka mengenakan jarik, kebaya, dan kerpus. Sekilas mereka memang menutup aurat, tetapi bila diteliti masih banyak bagian yang belum tertutup. Di antaranya telinga, leher, sedikit bagian dada, kaki, dan tangan.
Bagaimanakah hukum membuka sebagian aurat tersebut? Haramkah? Mohon penjelasanya dari Bapak kiai.
Jawaban:
1.        Hukumya haram, karana dia telah melakukan perbuatan ghasab, yaitu mempergunakan yang bukan hak miliknya tanpa izin.
Dasar pengambilan:
a.        Hadist riwayat Sayyidah Aisyah ra yang disepakati kesahihannya oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim:
مَنْ ظَلَمَ قَيْدَ شِبْرٍ مِنَ الأرْضِ طُوِّ قَََََََََََََََََََََهُ مِنْ سَبْعِ اَرَضِيْنَ
”Barangsiapa yang berbuat zalim (merampas) tanah sepanjang satu jengkal, maka tanah tersebut sejak dari bumi yang ke tujuh akan dikalungkan kepadanya di hari kiamat”.
b.       Kitab at Tadzhib halaman 139:
(فَََََصْلُ) وَمَنْ غَصَبَ مالاً لاَِحَدِ لَزِمَهُ رَدُّهُ وَالغَصْبُ مِنَ الَكَبَائِرِ، وَالأَصْلُ فىِ تَحْرِيْمِهِ اياَتُ كَثِيْرَةُ ، مِنْهاَ قَوْ لُهُ تَعَالَى: وَلاَتأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ باِلْبَاطِلِ. (سورة البشرة: 188)
(Pasal) Barang siapa yang mengambil harta milik orang lain tanpa izin, maka dia wajib mengembalikannya. Ghasab itu adalah termasuk dosa besar, dan dasar keharamannya adalah ayat-ayat yang banyak, yang antara lain firman Allah dalam surat Al Baqarah: 188, “Dan janganlah sebahagian dari kamu sekalian memakan harta sebahagian dari kamu sekalian dengan jalan bathil ...”
2.       Hukumnya haram, dan ada pula yang menyatakan makruh jika tidak menimbulkan syahwat bagi orang yang memandangnya.
Dasar pengambilan:
Kitab Fathul Muin hamisy kitab I’anatut Thalibin juz 3 halaman 260:
وَلاَ يَحِلُّ النَّظْرُ إِلَى عُنُقِ الحُرَّةِ وَرَأْسِهَا قَطْعًا. وَقِيْلَ يَحِلُّ مَعَ الكَرَاهَةِ النَّظْرُ بِلاَ شَهْوَةٍ.
Dan tidak halal memandang leher dan kepala wanita merdeka secara mutlak. Dan dikatakan makruh memandangnya dengan tanpa syahwat
Deskripsi :
1.        Bagaimana hukumnya organisasi Islam menerima bantuan dari kalangan non-muslim?
2.       Bagaimana hukum haji seseorang yang karena ada kebakaran di Mina (sesudah ada berita kebakaran) seusai wukuf di Arafah langsung pulang ke Maktab /pondokan dan bermalam, kemudian esok harinya baru pergi ke Mina untuk melempar jumrah dengan cara di jama’?
Jawaban:
1.        Menurut hukum fiqih, organisasi Islam menerima bantuan non muslim itu boleh. Tetapi ditinjau dari sudut tasawwuf, sebaiknya jangan sampai menerima bantuan dari non muslim, apa lagi memintanya. Sebab biasanya bantuan dari non muslim tersebut membawa pengaruh yang negatif.

Lebih-lebih jika bantuan itu diperoleh dengan cara yang tidak halal. Perhatikan pondok-pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang telah menerima bantuan dari luar. kalau mutunya tidak merosot, maka barokahnya yang hilang.
Dasar pengambilan:
a.        Kitab Tuhfatul Habib halaman 167:
يَصِحُّ وَقْفُ مُطْلَقِ التَّصَرُّفِ المُخْتَارِ فَيَصِحُّ مِنْ كَافِرٍ وَلَوْ لِمَسْجِدٍ.
Sah wakaf dari kemutlakan tasaruf yang suka rela, maka sah wakaf dari orang kafir meskipun untuk masjid.
b.          Kitab Asyarqawi juz 2 halaman 147:
قَوْلُهُ (وَاَنْيَكُوْنَ الواَقِفُ اَهْلاً لِلتَّبَرُّعِ) فَيَصِحُّ مِنْ كَافِرٍ وَلَوْلِمَسْجِدٍ وَمُصْحَفٍ وَكُتُبٍ عِلْمٍ. وَاَنْ لَم يَعْتَقِدْ ذَالِكَ قُرْبَةً اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَاد ِنَا.
Ucapan musanif (Dan hendaklah orang yang yang berwakaf itu adalah ahli kebajikan) maka sah wakaf dari orang kafir meskipun untuk masjid atau mushaf atau buku-buku ilmu pengetahuan. Dan hendaknya hendaknya pewakaf tidak meyakini wakaf tersebut untuk ibadah (mendekatkan diri kepadaAllah) karena memperhatikan keyakinan kita.
2.       Hukum hajinya sah, jika dia telah melakukan rukun-rukun haji, hanya saja apabila pulang ke maktab sebelum melempar jumrah aqabah dan belum melakukan tahalul awal, dia dapat melakukan tahalul awal dengan jalan tawaf ifadah dan memotong/mencukur rambut.
Sebelum melakukan tahalul dia masih mengenakan pakaian ihram dan masih terkena semua larangan ihram. Jika dia telah mengenakan pakaian yang berjahit, dia wajib membayar dam.
Dan jika dia tidak menginap di Mina satu malam dia harus membayar fidyah satu mud, dan kalau tiga malam harus membayar dam (menyembelih kambing). Sebagaimana keterangan kitab-kitab fiqih yang antara lain:
§  Kitab Khulasatul kalam fi arkaanil islam halaman 340
§  Kitab Al Lidlaah karangan Imam Nawawi dan Hasyiyah Ibnu Hajar Al haitami halaman 391-40
Deskripsi :
Ada seorang yang bernama Ali menghutangkan uang kepada Aris, dan ditentukan batas akhir pengembaliannya. Setelah waktunya habis Ali meminta pengembalian hutang tersebut. Karena suatu hal Aris mengembalikan hutang tersebut dengan jalan yang haram misalnya mencuri, sedangkan Ali tahu akan cara yang dilakukan oleh Aris tersebut.
1.        Apakah Ali ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh Aris, apabila Ali menerima pembayaran tersebut padahal dia hanya berniat mengambil alih haknya yang terdapat pada Aris?
2.       Adakah perbedaan hukum antara permasalahan diatas dengan orang yang menerima pemberian dari orang yang barangnya didapat dari barang haram dan orang itupun tahu terhadap jalan pendapatan barang tersebut?
3.       Apakah bisa direlevansikan antara kasus Ali dan Aris dengan pajak wajib, di mana pemerintah dijadikan pihak yang memberikan hutang dan rakyat (baik badan usaha atau bukan) dijadikan pihak yang berhutang (wajib membayar pajak). Namun ada sebagian pihak rakyat yang wajib membayar pajak, membayarnya dari uang haram. Misalnya prostitusi dan pemerintah pun menerima pajak tersebut karena pajak itu hak pemerintah. Jadi adakah kesamaan hukum antara permasalahan ini dengan kasus Ali dan Aris. Mohon disertai dalil-dalilnya
Jawaban:
1.        Si Ali tidak ikut menanggung dosa si Aris, karena si Ali tidak mengetahui perbuatan dosa yang dilakukan oleh si Aris.
2.       Jelas berbeda
3.       Ada.
Dasar pengambilan:
Kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 355
قَالَ فِى المَجْمُوعِ يُكْرَهُ الأَخْذُ مِمَّنْ بِيَدِهِ حَلاَلٌ وَحَرَامٌ كَالسُّلْطَانِ الجَائِرِ. وَتَخْتَلِفُ الكَرَاهَةُ بِقِلَّةِ الشُّبْهَةِ وَكَثْرَتِهَا, وَلاَ يَحْرُمُ إلاَّ إنْ تَيَقَّنَ أَنَّ هَذَا مِنَ الحَرَامِ.
Mushannif (pengarang kitab) berkata dalam kitab Al Majmu’: ”Makruh mengambil (bantuan/pemberian) dari orang yang padanya ada harta yang halal dan haram seperti penguasa yang durhaka. Kemakruhan ini berbeda tingkatnya dengan sedikit dan banyaknya kesubhatan. Dan tidak haram menerima pemberian kecuali jika seseorang yang menerima yakin bahwa pemberian tersebut dari harta yang haram
Deskripsi :
1.        Pada zaman sekarang ini banyak orang yang ingin mempercantik dirinya dengan cara mengoperasi wajah atau anggota badan lainnya, misalnya operasi hidung agar kelihatan mancung, bibir, mata dll, agar semua kelihatan indah dipandang padahal usaha tersebut telah menyalahi ciptaan Allah SWT. Bagaimana hukumnya dan apa dalilnya.
2.       Apakah ayah tiri dapat membatalkan wudhu?
3.       Setelah saya membaca AULA terbitan No. 6/ Th. VIII/Juni 1996 hal. 68 tentang alkohol dalam makanan, obat dan kosmetik dari uraian yang panjang lebar itu saya belum dapat menyimpulkan hukum alkohol tentang halal dan haramnya. Alkohol yang bagaimana yang dikategorikan haram?
Jawaban:
1.        Hukumnya tidak boleh karena dilakukan dengan mengubah ciptaan Allah.
Dasar pengambilan:
Tafsir Munir juz 1 halaman 174:
(فلْيُغَيِّرُنَّ َخْلق ِاللهِ) صْوَرةً وَصفَةً كَاِخْصاَءِ الْعَبِيْدِ وَفْقءِ الْعُيوْنِ وَقَطْعِ الاذَان وَ الْوَشْمِ وَ الْوَشْرِ وَ وَسْلِ الْشَعِر
( ... lalu mereka benar-benar mengubah ciptaan Allah) dalam bentuk dan sifat, seperti mengebiri para budak, mencukil mata, memotong telinga, memberi tato, memanggur gigi dan menyambung rambut.
2.       Jika ayah tiri telah bersetubuh dengan ibunya. maka tidak lagi membatalkan wudhu anak tirinya, dan jika belum bersetubuh, maka masih membatalkan wudhu.
Dasar pengambilan:
Hamsi kitab Al Baijuri juz 2 hal. 166:
(وَالْمُحَرٌماَتُ بِالنَصِ اَرْبَعُ). .. اِلَي اَنْ قَالَ: (وَالرَبِيْبةَ) اي بِنْتُ ألزٌوْجَةِ (اِذَا دَخَلَ بِاْلاُم ِ) (قَوْلُهُ اِذَا دَخَلَ بِاْلاُمِ) خِلاَفاً مَا اِذَا لَمْ يَدْخُلْ بِهَا.
(dan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebab nash ada empat). ... sampai pada ucapan mushonnif: (dan rabibah) yaitu anak perempuan dari istri (jika dia telah menyetubuhi ibunya) —ucapan mushonnif “jika dia telah menyetubuhi ibunya—adalah berbeda jika dia belum bersetubuh dengan ibunya.
3.       Alkohol yang haram diminum adalah memabukkan.
Dasar pengambilan:
Kitab/Al-Majmuk/ syarah dari kitab Al-Muhadzab juz 2 halaman 563:
وَاَمَّا اْلنَبِيذُ فَقِسْمَانِ: مُسْكِرٌ وَغَيْرُهُ فَالْمُسْكِرُ نَجِسٌ عِنْدَ نَاوَعِنْدَ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ, وَشُرْبُهُ حَرَام, وَلَهُ حُكْمُ الْخَمرِ فِي التَّنْجِيْسِ وَالتَّحْرِيْمِ وَوُجُوْبِ الْحَدِّ
Adapun hasil perasan buah, maka ada dua macam: memabukkan dan tidak memabukkan. Yang memabukkan hukumnya najis menurut kami (madzhab Syafi’i) dan menurut jumhur ulama’ dan meminumnya adalah haram, dan baginya berlaku hukum arak mengenai kenajisannya dan keharamannya serta kewajiban memberi hukuman kepada peminumnya
Deskripsi :
1.        Di daerah kami telah menjadi kebiasaan setia pada orang yang melangsungkan pernikahan (akad nikah) terlebih dahulu memotong giginya dengan di-papar (bahasa Madura) dengan tujuan untuk mempercantik. Sedangkan praktek tersebut seringkali dikatakan haram. Betulkah hal tersebut diharamkan? Mohon disertai dasar pengambilannya.
2.       Tradisi sebagian daerah Madura termasuk daerah kami ada istilah membayar bragad (bahasa Madura) dari orang (pihak laki-laki) yang akan melangsungkan suatu pernikahan kepada pihak perempuan. Termasuk akad apakah bragad tersebut? Mohon disertai dasar pengambilannya! Apakah ada batas maksimalnya?
3.       Di luar negeri suatu perkawinan, di mana setiap ada resepsi perkawinan selalu bubar artinya dirusak oleh beberapa kelompok manusia pada waktu resepsi berlangsung, sehingga pemerintah setempat memberikan tunjangan (asuransi) kepada kedua mempelai sekian persen. Bolehkah perkawinan semacam itu dan termasuk akad apa?
4.       Keluarga kami ada yang meninggal dunia disebabkan kecelakaan (ditabrak mobil). Mayit meninggalkan ahli waris istri, anak, kakek dan nenek (orang tua mayit). Tempat tinggal istri dan anak di Surabaya, sedang tempat tinggal kakek dan nenek (orang tua mayit) di Madura.
a.        Siapakah yang lebih berhak antara istri dan anak si mayit dengan kakek dan nenek (orangtua mayit) untuk menguburkan si mayit tersebut sedangkan si mayit tidak meninggalkan wasiat, padahal kedua pihak keluarga saling berebut untuk menguburkan si mayit di daerah masing-masing. Mohon penjelasan!
b.       Mayit tersebut meninggal dunia disebabkan tertabrak mobil, berapakah aturan pemerintah yang sebenarnya tunjangan yang diberikan pihak asuransi Jasa Raharja kepada ahli warisnya. Mohon penjelasan dan disertai pengambilan bukunya.
Jawaban:
1.        Betul mem-papar (bahasa Madura), mem-panggur (bahasa Jawa) hukumnya haram.
Dasar pengambilan:
Kitab Dalilul Falikhin juz 4 hal 494:
وَعَنْ اَبِيْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّهُ قَالَ: لَعنَ اللّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ المُتَغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ, فَقَالَتْ لَهُ إِمْرَاءَةٌ فِى ذَلِكَ، فَقَالَ: وَمَا لِى لأَلْعَنُ مَنْ لَعَنَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِى كِتَابِ اللهِ، قَال اللهٌ تَعَالَى: وَمَا آتَاكُمْ الرَسُولُ فَخُذُوه وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فانْتَهُوا. مُتَّفَقْ عَلَيْهِ
Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud ra bahwasanya beliau telah berkata: Allah melaknat para wanita yang bertato dan para wanita yang minta ditato, para wanita yang menyuruh wanita lain untuk mencabuti bulu alisnya agar menjadi tipis dan tampak indah dan para wanita yang merenggangkan gigi mereka sedikit untuk kecantikan dan para wanita yang mengubah ciptaan Allah. Ada seorang wanita yang berkata kepada beliau dalam hal tersebut, kemudian beliau berkata: "Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw, sedangkan hal itu disebutkan dalam al Quran", Allah ta’ala berfirman: Apa saja yang rasul datangkan kepadamu, maka ambillah dan apa saja yang Rasul melarang kepada kamu sekalian, maka hentikanlah. Telah disepakati kesahihannya oleh Imam Bukhori dan Muslim.
2.       Bragad atau di Jawa Tengah disebut dengan Jondang atau di Kalimantan disebut Jujuran, adalah semacam mas kawin yang tidak disebutkan dalam ijab qobul pada pernikahan berdasarkan permintaan dari pihak calon pengantin wanita kepada pihak calon pengantin pria.
Di Kalimantan, setahu kami dapat berupa seperangkat alat rumah tangga dan ruang yang jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah, berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak. Sedang akadnya adalah termasuk akad hibah atau pemberian dari pihak calon pengantin pria kepada pihak calon wanita: dan hukumnya boleh/jawaz. Tidak ada batas minimal atau maksimalnya.
Dasar pengambilan:
Hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi sebagai berikut:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِيْنَ إلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أو أحَلَّ حَرَامًا. وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ, إلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَو أحَلَّ حَرَامًا.
Perdamaian itu boleh dilakukan di antara orang-orang Islam kecuali perdamaian yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram. Orang-orang Islam itu harus menepati persyaratan-persyaratan yang dibuat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram.
3.       Yang Anda maksud dengan luar negeri itu negara mana? Sebab kalau pengetahuan anda itu berdasarkan tayangan film, maka hal itu hanyalah rekayasa dari sutradara saja atau dari cerita yang difilmkan.
Yang Anda tanyakan itu mengenai bentuk perkawinannya ataukah resepsi perkawinan yang menimbulkan kerusakan? Kalau yang anda tanyakan adalah bentuk perkawinannya, maka selama perkawinan tersebut telah memenuhi rukun nikah sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh, yaitu:
a.        ada calon pengantin pria
b.        ada calon pengantin wanita.
c.        ada wali yang memenuhi syarat agama Islam
d.       ada dua orang saksi yang adil menurut agama Islam
e.        ada ijab dan qobul.
Maka perkawinan tersebut sah.
Jika yang anda tanyakan adalah resepsi perkawinannya, maka resepsi perkawinan yang menimbulkan kerusakan, maka resepsi perkawinan semacam itu dilarang oleh agama Islam berdasarkan firman Allah dalam Al Quran surat Al-A’raf ayat 56 yang antara lain berbunyi:
وَلاَ تُفْسِدُوا فِى الأرضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا. .. الآية.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya ...
Adapun hukum dari pemberian tunjangan (asuransi) yang diberikan oleh pemerintah setempat, maka saya persilahkan anda membaca Aula nomor 10 Tahun XVIII/ Oktober 1996.
4.       Mayat itu harus dikubur di pekuburan yang lebih dekat dengan tempat ia meninggal dunia (tempat dia ditabrak mobil).
Dasar pengambilan:
Fathul Wahhab Juz 1 halaman 101:
(وَحَرُمَ نَقْلُهُ) قَبْلَ دَفْنِهِ مِنْ مَحَلِّ مَوْتِهِ (إلَى) مَحَلِّ (أبْعَدَ مِنْ مَقْبَرَتِ مَحَلِّ مَوْتِهِ) لِيُدفَنَ فِيْهِ وَهَذَا أَوْلَى مِنْ قَوْلِهِ وَيَحْرُمُ نَقْلُهُ إلَى بَلَدٍ آخَرَ (إلاَّ مَنْ بِقُرْبِ مَكَّةَ وَالمَدِيْنَةِ وَإِيلِيَا) اى بَيْتِ المُقَدَّسِ فَلاَ يَحْرُمُ نَقْلُهُ إلَيْهَا, بَلْ تُخْتَارُ لِفَضْلِ دَفْنِ فِيْهَا.
Dan haram memindahkan mayat sebelum dikubur dari tempat meninggalnya ketempat yang lebih jauh dari pekuburan tempat meninggalnya untuk dikubur ditempat itu. Ini adalah lebih utama dari ucapan mushonnif: Dan haram memindah mayat ke daerah lain, kecuali orang yang meninggal di dekat kota Makkah dan Madinah dan Iliya, yaitu Baitul Muqoddas. Maka tidak haram memindahkan ke tempat-tempat tersebut, bahkan tempat-tempat tersebut dipilih karena keutamaan menguburkan mayat ditempat-tempat tersebut.
Kalau anda ingin mengetahui beberapa jumlah uang yang dapat diberikan kepada Jasa Raharja kepada keluarga atau ahli waris dari orang yang meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas, kami persilahkan anda bertanya kepada PT Asuransi Jasa Raharja setempat
Deskripsi :
Seperti kebiasaan yang terjadi di masyarakat setiap jenazah yang dimasukkan ke liang lahat, sebelum ditutup dengan tanah lalu pak mudin mengazani dan mengiqomahi akan tetapi iqomahnya tidak sama dengan iqomahnya waktu salat akan dimulai.
1.        Apakah benar atau memang ada qod qoomatil qiyamah itu? Mohon penjelasan.
2.       Bagaimana hukumnya membaca tahlil atau ikut mendoakan orang yang telah meninggal dunia, padahal dia selama hidupnya tidak pernah mengerjakan salat walaupun dia orang Islam/Islam KTP? Mohon penjelasan.
3.       Apakah benar menjadi seorang imam dzikir fida’ itu harus sudah minta ijin atau ijazah dari seorang guru mursyid? mohon penjelasan.
Jawaban:
1.        Dalam kitab Tanbihul Ghofilin bab Siddatu Alamil Maut kami memang menjumpai kata-kata qod qoomatil qiyamah yang dipergunakan untuk “kematian” seseorang. Akan tetapi bahwa bacaan iqomah qod qoomatis sholah diganti dengan qod qoomatil qiyamah maka hukumnya tidak boleh sebab lafadz iqomah sebagaimana lafadz adzan adalah sudah ditentukan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagaimana misalnya adzan subuh, meskipun lafadz ruquud adalah sama artinya dengan lafadz naum akan tetapi tidak boleh lafadz as sholaatu khoirum minan naum diganti dengan lafadz as sholaatu khoirum minar ruquud.
Dasar pengambilan:
Kitab Hawasay As Syarwani wa Ibni Qosim al Ubaidiy ala Tuhfatu al Muhtaji bi syarhi al Minhaji Juz 2 halaman 91:
وَيُكْرَهُ فِى غَيْرِ الصُبْحِ كَحَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَلِ مُطْلَقًا, فَإنْ جَعَلَهُ بَدلَ الحَيَّ عَلَتَيْنِ لَمْ يَصِحَّ أذَانُهُ. قَولُهُ (لَمْ يَصِحَّ أذَانُهُ) وَالقِيَاسُ حِينَئِذٍ حُرْمَتُهُ لأَنَّهُ بهِ صَارَ مُتَعَاطِيًا لِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ.
Dimakruhkan di selain salat subuh bacaan seperti ‘hayya ala khoiril amal’ secara mutlak, jika menjadikan bacaan tersebut sebagai ganti dari kedua bacaan ‘hayya ala sholah’ dan ‘hayya ala al falah’ maka tidak sah adzannya. Penjelasan tentang ‘tidak sah adzannya’ dan qiyasnya ketika itu adalah keharamannya, karena dengan itu dia menjadi orang yang melakukan ibadah yang rusak.
2.       Jika orang yang tidak pernah mengerjakan salat itu masih merasa berkewajiban melakukan salat, tetapi dia tidak mampu melakukannya, maka hukumnya masih boleh ditahlilkan dan didoakan. Akan tetapi jika dia sudah merasa tidak berkewajiban melakukan salat, apalagi menentang kewajiban salat tersebut, maka hukumnya sudah tidak boleh ditahlilkan dan didoakan.
Dasar pengambilan:
Kitab Majmu’ mustamil ala arbai rosail halaman 6
تَارِكُ الصَّلاَةِ لاَيُعَادُ فِى مَرَضِهِ وَلاَ يُتْبَعُ فِى جَنَازَتِهِ وَلاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ وَيُؤَكَلُ وَلاَ يُشَارَبُ وَلاَ يُصَاحَبُ وَلاَ يُجَالَسُ وَلاَ دِيْنَ لَهُ وَلاَ أمَانَةَ لَهُ وَحَظَّ لَهُ فِي رَحْمَةِ اللهِ وَهُوَ مَعَ المُنَافِقِيْنَ فِى دَرْكِ الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ (الحَدِيْث)
Orang yang sengaja meninggalkan salat itu tidak boleh dikunjungi waktu sakit, jenazahnya tidak boleh diantarkan ke kubur, tidak boleh diberi salam, tidak boleh diberi makan, tidak boleh diberi minum, tidak boleh dijadikan teman, tidak boleh diajak duduk bersama. Dia adalah orang yang sama sekali tidak beragama, tidak dapat diamanati dan tidak ada bagiannya dalam rahmat Allah. Dia beserta orang munafiq ditingkat yang paling bawah dari neraka (hadist).
3.       Jika zikir fida’ tersebut memang salah satu amalan dari salah satu gerakan toriqoh, Maka untuk menjadi imam zikir tersebut, memang harus mendapat ijazah dari guru Mursyid thorikoh tersebut, akan tetapi jika zikir fida’tersebut adalah sebagaimana yang tersebut dalam kitab Irsyadul Ibad, artinya bukan amalan dari suatu gerakan torikoh, maka tidak harus mendapat ijazah dari guru mursyid
Deskripsi :
1.        Dalam kitab-kitab banyak disendirikan antara hukum mereka yang hurri dan mereka yang abdi. Baik laki-laki ataupun perempuan. Timbul pertanyaan, apakah Islam mengakui adanya perbudakan? Bagaimana cara merefleksikan hukum tersebut pada masa-masa sekarang ini?
2.       Apakah pelajar, mahasiswa atau karyawan pabrik/perusahaan itu dapat digolongkan mustautin? Bagaimanakah batasan mustauthin itu? sahkah salat Jumat yang mereka laksanakan di sekolah, kampus/perusahaan? Kalau saya mengambil ibarah dari kitab I’anah juz 2 halaman 54 mereka ini termasuk golongan yang mana?
3.       Bolehkah seseorang hilah dengan mengambil hukum dari beberapa imam madzhab, padahal dia tudak dalam posisi terpaksa? Bukankah keempat imam tersebut tidak diragukan lagi keilmuannya bahkan kebenarannya? dan bukankah sesuatu yang bernama kebenaran itu harus dapat digunakan semua golongan- seperti Islam-?
Jawaban:
1.       
Pada waktu agama Islam datang, di seluruh dunia ini sudah ada sistem perbudakan dan keadaan/wujud para budak itu tidak dapat dipungkiri. Kemudian Islam datang dengan keinginan agar para pemilik budak yang dapat diperjual belikan itu mau memerdekakan para budak dengan sukarela, antara lain dengan jalan kewajiban memerdekakan budak sebagai denda dari orang yang melakukan hubungan seksual dengan isterinya disiang hari pada bulan Ramadan dan lainnya. Sedang perbedaan hukuman bagi budak sebanyak setengah dari hukuman bagi orang merdeka adalah salah satu bukti perhatian Islam terhadap para budak.
Budak belian itu sekarang ini tidak kita dapati di negeri-negeri Islam, sehingga perbedaan hukum antar orang merdeka (hurri) dan budak (abdi) sudah tidak ada lagi.
2.       Para pelajar dan mahasiswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolah atau kampus termasuk golongan mustautin sedangkan yang rumahnya jauh dari sekolah atau kampus tidak termasuk golongan mustautin. Demikian pula karyawan yang rumahnya dekat dengan pabrik/perusahaan termasuk golongan mustautin, sedang yang jauh tidak termasuk golongan mustautin. Yang dimaksud dekat disini adalah dapat mendengarkan adzan dari tempat mendirikan salat Jumat yang dilakukan di atas menara tanpa pengeras suara dari muadzin yang suaranya normal pada saat yang hening tanpa kebisingan.
Yang dimaksud dengan mustautin adalah orang yang bertempat tinggal menetap di suatu tempat, tanpa ada keinginan pulang kembali ke kampung halamannya manakala tujuannya telah tercapai sebagaimana pelajar atau mahasiswa yang kost dikota lain dengan tujuan mencari ilmu yang apabila setelah lulus dai akan pulang ke kampungnya atau pindah ketempat lain. Maka mereka ini meskipun menetap sampai 5 tahun menuntut ilmu, tidak dapat digolongkan mustautin, tetapi hanya digolongkan mukimin saja.
Salat Jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang mukim atau musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan adalah sah jika tempat melakukan salat Jumat tersebut sah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah dijadikan hitungan sebagai ahli Juamat di tempat melakukan salat Jumat tersebut.
Mengenai salat Jumat yang diadakan di sekolah/kampus atau di lingkungan pabrik, selama ahli Jumatnya yang terdiri dari orang-orang yang mustautin ada sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafii) laki-laki, orang merdeka bukan budak, sehat pendengarannya dan semuanya dapat membaca al Quran dengan benar, dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari Jumat salat Jumat ditempat tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedang tempatnya cukup jauh dengan tempat mendirikan salat Jumat yang lain (minimal 1666 m, menurut keputusan Muktamar NU), maka mendirikan salat Jumat ditempat tersebut adalah sah.
Menurut ibarat dari kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 54, para murid sekolah, mahasiswa dan para karyawan yang tidak berdomisili di sekitar tempat mendirikan salat Jumat tidaklah termasuk golongan mustautin.
Dasar pengambilan Kitab Tausyih ala ibn Qosim halaman 78:
(وَ) السَّابِعُ (الإسْتِيْطَانُ) بِمَحَلِّ إِقَامَةِ الجُمُعَةِ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ المُسْتَوْطِنش وَهُوَ المُقِيْمُ بِمَحَلِّهَا أرْبَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ أو بِمضا يُسْمَعُ مِنْهُالنِّدَاءُ. وَلاَ تَنْعَقِدُ بِمُسافِرٍ وَمُقِيْمٍ عَزَمَ عَلَى عَوْدِهِ لِوَطَنِهِ وَلَو بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَالمُسْتَوطِنُ مَنْ لاَيُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ فَغَيْرُ المُسْتَوطِنِ إنْ كَانَ مُسَافِرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَإنْ كَانَ مُقِيْمًا وَلَوْ أربَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ.
“Dan yang ketujuh (dari syarat-syarat mendirikan salat Jumat) adalah istitan (bertempat tinggal menetap) di tempat mendirikan salat Jumat. Sehingga salat Jumat itu tidak sah (apabila ahli Jumatnya paling sedikit 40 orang itu digenapi jumlahnya) dengan orang yang wajib menghadiri salat Jumat dan ia bukan mustautin, yaitu orang yang bertempat tinggal ditempat mendirikan salat Jumat selama empat hari penuh, atau digenapi dengan orang yang mendengar adzan melalui pengeras suara atau radio tetapi rumahnya sangat jauh dari tempat mendirikan salat Juamat. Salat Jumat tidak sah dengan ahli Jumat (jamaah tetap) orang musagir atau orang mukim yang bercita-cita kembali kenegerinya meskipun sesudah jangka waktu yang lama. Mustautin itu adalah orang yang tidak bepergian dari tempat tinggalnya pada musim hujan atau musim lainnya, kecuali karena ada keperluan. Orang yang tidak mustautin, jika dia bepergian, maka dia tidak wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat itupun tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi dengan dia, dan jika musafir ini melakukan salat Jumat, maka salat Jumatnya sah. Jika musafir itu tinggal di suatu tempat, meskipun selama empat hari penuh, maka dia wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi hitungannya dengan dia, dan salat Jumat yang dilakukan olehnya sah. ”
3.       Perlu anda ketahui bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab itu adalah disebabkan oleh perbedaan ushul dan pendangan mereka terhadap dalil-dalil nash. Sebagai contoh, madzhab Hanafi tidak mau menggunakan hadist ahad (hadist yang dalam satu stadium hanya diriwayatkan oleh satu orang) meskipun sahih sebagai dasar pengambilan hukum. Bagi madzhab Hanafi hadist yang dapat dijadikan dasar hukum itu paling tidak adalah Hadist Mashur (hadist yang dalam satu stadium diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang).
Sebaliknya madzhab Maliki mau menggunakan hadist dlaif asal tidak terlalu dlaif sebagai dasar pengambilan hukum. Sedang madzhab Syafii hanya mau menggunakan hadist sahih meskipun hadist tersebut adalah hadist ahad.
Terhadap ayat-ayat al Quran serta perbedaan ushul diantara mereka, maka hasil ijtihad mereka menjadi berbeda-beda. Jadi jika dalam satu masalah, misalnya fardlu wudlu, kita setuju pendapat madzhab Syafii, yaitu enam, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Syafii bahwa hadist yang dapat dijadikan dasr hukum adalah hadist sahih meskipun ahad. Jika kita setuju pendapat madzhab Hanafi, yatiu empat, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Abu Hanifah bahwa hadist yang dapat dijadikan dasar hukum adalah hadist masyhur. Kemudian jika kita setuju pendapat madzhab Maliki, yaitu delapan, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Malik bin Anas bahwa hadist dlaif itu dapat dijadikan dasar hukum.
Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa jika seseorang dalam keadaan tidak terpaksa memiliki pendapat yang ada diantara para Imam Madzhab dengan alasan sama benarnya (melakukan talfiq) , maka berarti orang tersebut tidak mengetahui dan tidak memiliki pendirian yang tetap (consist) terhadap pokok masalah yang menjadi landasan dan dasar hukum. Terlebih hal itu tidak diperkenankan oleh agama.
Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 4 halaman 217-218:
(فَائِدَةٌ) إِذَا تَمَسَّكَ العَامِى بِمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإلاَّ لَزِمَهُ التَمَذْهَبُ بَمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الأرْبَعَةٍ لاَغَيْرِهَا وَإنْ عَمَلَ بِالأوَّلِ. الإنْتِقَالُ الَى غَيْرِهِ بِالكُلِّيَّةِ أوْ فِى المَسَائِلِ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُخَصُ بِأنْ يَأخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ بِالأَسْهُلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى الأوجَة.
(faedah) apabila ada seorang yang awam berpegang teguh pada satu mazhab, maka wajib baginya untuk menyesuaikan diri dengan mazhab tersebut. Jika tidakdemikian, maka wajib baginya bermazhab dengan mazhab yang tertentu dari empat mazhab, bukan dengan selainya. Kemudian jika dia mengamalkan dengan mazhab yang pertama, dia boleh pindah ke mazhab lainya secara keseluruhan atau dalam masalah tertentu dengan syarat tidak mengikuti keringanan-keringanan, seperti apabila dia mengambil dari mazhab yang paling ringan dari mazhab tersebut, sehingga karenaya, menurut pendapat yang paling kuat, dia menjadi orang yang fasik
Deskripsi :
1.        Dalam salat jamaah (misalnya magrib) imam lupa akan bilangan rakaat yang telah dilakukan. Yaitu yang sebenarnya sudah mendapat tiga rakaat, tapai karena lupa maka imam menambah rakaat lagi. padahal makmumsudah mengucapkan tasbih tapi imam masih terus (dan mungkin saja karena tidak mengerti kesalahan yang di maksud makmum lewat tasbih tadi).
Lalu bagaimana posisi makmum yang benar, apakah mengikuti rakaat imam tadi atau menanti dalam tahiyyat ahir dan membiarkan imam sendiri atau mufaraqah, serta bagaimana tindakan makmum masbuq yang hanya kurang satu rakaat saja dalam jamaah. Seperti ini tolong dijawab lengkap dengan ta’birnya.
2.       Bagaimana cara menghitung air untuk boleh tidaknya dipakai berwudlu, sedang air itu mnengalir misal di sungai, dengan cara mengunakan istilah jiryah sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Kitab Kasifatus saja, bab Al ma’u qolilun wa…halaman 22. Tolong diterangkan maksud ta’bir tersebut dengan jelas atau mengunakan ta’bir kitab lain yang lebih jelas.
Jawaban:
1.        Jika makmum telah yakin bahwa sholat magrib yang di lakukan telah tiga rakaat, maka makmum tidak boleh berdiri mengikuti imam. Tetapi harus duduk menanti imam melakukan tasyahud kemudian salam bersama imam, atau makmum mufaraqah memisahkan diri dari imam.
Bagi imam, apabila dia mendengar tasbih hanya dari seorang makmum saja, maka dia tidak boleh duduk sehingga dia yakin bahwa salat yang dia lakukan sudah tiga rakaat. Jadi duduk imam berdasarkan keyakinanya, dan bukan dari tasbih dari seorang makmum. Jika yang melakukan tasbih adalah makmum yang banyak, sedangkan imam mendengar tasbih tersebut dan tidak mau duduk, maka salat si imam batal karena menambah rukun;dan salat para makmum sah.
Bagi makmum masbuq, jika dia telah yakin imam telah melakukan salat tiga rakaat, maka dia tidak boleh mengikuti imam berdiri
Dasar pengambilan Kitab Hamisy I’anatut Thalibin juz 2 halaman71:
(فَرْعٌ) لَو قاَمَ أِمَامُهُ لِزِيَادَ ةٍ كَخَامِسَةٍ وَلَوْ سَهْوًا لَمْ يَجُزْلَهُ مُتَابَعَتُهُ وَلَوْ مَسْبُوقاًاَوْشَاكًّافِي رَكْعَةٍ بَلْ يُفَارِقُهُ وَيُسَلِّمُ اَوْيَنْتَظِرُهُ عَلَي الْمُعْتَمَدِ.
(cabang) andaikata imam berdiri untuk menambah rakaat, seperti rakaat kelima meskipun karena lupa, tidak boleh bagi makmum mengikutinya meskipun dia makmum masbuq, atau karena ragu-ragu dalam rakaat. Tetapi ma’mum harus mufaraqah dan salam atau menanti imamnya menurut pendapat yang dapat di jadikan pegangan.
2.       Istilah satu jiryah yang ada dalam kitab kasyifatus saja halaman 22 tersebut adalah sama dengan istilah debit air tiap satu detik. Untuk memahami istilah ini, kami persilahkan anda bertanya ke kantor PDAM yang ahli mengukur jumlah volume air tiap satu detik. Seingat kami, jika aliran di sungai terdapat 245 liter dengan mengingat lebar dan dalam sungai air tersebut, maka jiryah tersebut dinamakan dua kulah
Deskripsi :
1.        Ada yang mengatakan bahwa bid’ah ada dua macam (mahmudah dan mazmumah) tolong diberi penjelasan dalil naqlinya (Al Qur’an dan Hadist)?
2.       Bagaimana kaitanya dengan hadits Nabi semua bid’ah dholalah?
3.       Andaikata ada perbedaan antara sabda nabi dengan fatwa ulama, maka keduanya yang patut di ikuti siapa?
Jawaban:
1.         Berdasarkan Kitab Ianatut Tholibin juz 1 halaman 271:
وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ فِى فَتْحُ الْمُبِيْنِ فِى شَرْحِ قَوْ لِهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ: مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ, مَا نَصُّهُ: قَلَ الشَافِعِيُّ رَضِيَ الله عَنْهُ: مَا اَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ إجْمَاعًا أو أَثَرً فَهُوَ البِدْعَةُ الضَّالَّةُ وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ.
Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Mubin dalam mensyarahi sabda Nabi Muhammad saw: “Barangsiapa mengadakan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini, apa saja yang tidak dari agama tersebut maka hal itu adalah tertolak. Apa yang dinyatakan: Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji).
Sabda Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh Imam ad Dailami dalam kitab Musnad al Firdaus:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إلاَّ بِدْعَةً فِى عِبَادَةٍ.
Setiap bid’ah itu adalah sesat, kecuali bid’ah dalam memperkuat ibadah.
2.       Jika saudara mendalami ilmu bahasa Arab, niscaya anda akan memahami bahwa hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.
3.       Andaikata ada, maka yang patut diikuti sudah barang tentu adalah sabda Nabi saw. Akan tetapi saudara harus menyadari bahwa tidak seorangpun dari para ulama yang sebenarnya berani memberikan fatwa, kecuali berdasarkan nash al Quran atau hadist Nabi saw
Deskripsi :
1.        Bagaimanakah hukum macam-macam salat sunah di bawah ini:
§  Usholli sunnatan nisfu sya’ban (salat pada malam pertengahan bulan Sya’ban)?
§  Usholli sunnatan lailatul qodri (salat di/pada malam lailatul qodar)?
§  Usholli sunnatan lidaf’il bala’i (salat rebo wekasan/di akhir bulan safar)?
2.       Bayi yang baru lahir, namun tidak ada tanda-tanda hayat. Bagaimana mengurus jenazahnya?
3.       Apabila seseorang Imam/Khatib melakukan dosa kabair.
a.        Sahkah Jumatnya?
b.       Sahkah bagi makmum yang meragukan karena bencinya?
c.        Apakah biji mata termasuk anggota wudlu yang wajib dibasuh, demikian pula bila junub?
Jawaban
1.        Salat-salat sebagaimana yang saudara sebutkan dalam pertanyaan, adalah perbuatan bid’ah yang jelas, sedangkan hadist-hadist yang menyebutkan hal tersebut adalah hadist-hadist palsu.
Dasar pengambilan Hamisy I’anatut Thalibin juz 1 halaman 270:
أمَّا الصَّلاَةُ المَعْرُوفَةُ لَيْلَةَ الرَّغَائِبِ وَنِصْفَ الشَّعْبَانِ وَيَومَ عَاشُرَاءَ فَبِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ وَاَحَادِيْثُهَا مَوْضُوعَةٌ.
”Adapun salat yang dikenal pada malam-malam yang dicintai dan pada malam nisfu Sya’ban serta hari Asyura’ adalah bid’ah yang jelek, sedangkan hadist-hadist (mengenai hal itu) adalah palsu”.
2.       Menurut Imam Ramli, jika bayi tersebut telah berumur 6 bulan atau lebih, sekalipun tidak ada tanda-tanda kehidupan baginya, maka cara mengurusnya seperti orang dewasa. Sedangkan menurut para Imam lainnya, tidak wajib diurus seperti orang dewasa yang meninggal dunia.
Dasar pengambilan Kitab Is’adur Rafiq Juz 1 halaman 105
وَتَجِبُ كُلُّهَا لِسقْطٍ بِتَثْلِيْثِ اَوَّلِهِ مِنَ السُقُوْطِ اِذَا ظَهَرَتْ فِيْهِ اِمَارَةُ الحَيَاةِ كَاخْتِلاَجٍ اِخْتِيَارِيٍّ بَعْدَ اِنْفِصَالِهِ وَبِالاَوْلَى مَالَوْ عُلِمَتْ حَيَاتُهُ بِنَحْوِ صِيَاحِ وَاِنْ لَمْ يَنْفَصِلْ كُلُّهُ. بَلْ عِنْدَ مَرِ مَتَى بِضَلَغَ سِتَّةَ اَشْهُرٍوَاِنْ لَمْ تَظْهَرفِيْهِْ اِمَارَةُالأحَيَاةِ حُكْمُهُ حُكْمُ الْكَبِيْرِ.
Dan wajib seluruh kewajiban mengurue mayit bagi bayi yang keguguran, jika nampak padanya tanda-tanda kehidupan seperti gerakan yang normal setelah terlepas dari kandungan ibunya. Apalagi jika di ketahui kehidupanya dengan berteriak, meskipun belum sempurna terpisah dari perut ibunya. Bahkan menurut Imam Ramli, ketika janin telah berumur enam bulan, sekalipun tidak nampak padanya tanda-tanda kehidupan, maka hukumnya adalah seperti hukumnya orang dewasa.
3.        
a.        Sah
b.       Bagi makmum hukumnya sah, tetapi makruh.
Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 47:
وَصَحَّ اِقْتِدَأٌ بِفَاسِقٍ وَمُبْتَدِعٍ لَكِنْ مَعَ الْكَراَهَةِ.
Dan sah makmum dengan orang fasik dan ahli bid’ah, tetapi makruh.
4.       Biji mata tidak wajib dibasuh ketika wudlu maupun mandi janabat.
Dasar pengambilan Kitab Is’adur Rafiq juz 1 halaman 75:
أَمَّا بَاطِنُهُ كَبَاطِنِ العَيْنِ وَالفَمِ وَالأنْفِ وَإنْ ظَهَرَبِنَحْوِ قَطْعٍ. إذِ العِبْرَةُ بِالأصْلِ. إِنَّمَا جُعِلَ فِى النَّجَاسَةِ ظَاهِرًا لِغَلَظِهضا, فَلاَ يَجِبُ غَسْلُهُ.
“Adapun bagian dalam dari muka, seperti bagian dalam mata, mulut dan hidung, meskipun nampak karena terpotong. Karena pandangan hukum adalah pada asalnya, dan sesungguhnya bagian dalam tersebut dikenakan hukum najis pada lahirnya adalah karena najis yang berat, maka bagian dalam tersebut tidak wajib dibasuh
Deskripsi :
1.        Seorang karyawan/pegawai biasanya terima gaji di muka baru pada bulan itu bekerja. Bagaimanakah seandainya di awal bulan September dia telah terima gaji bayaran tetapi karena kecelakaan atau sakit dia tidak bisa bekerja selama bulan September. Bagaimanakah dengan gaji yang diterimanya, berhutangkah dia?
Jika termasuk berhutang, bagaimana cara mengembalikan/mengesahkannya jika dia pegawai negeri?
2.       Bagaimana hukumnya membuat novel, komik, cerita-cerita atau sejenisnyadan di publikasikan (disampaikan pada orang lain) di cerita itu hanya hayalan belaka tetapi pembaca bisa membayagnkan seolah ada dan terjadi? Bisakah masuk kategori pembuat cerita bohong dan dusta?
§  Seandainya karangan cerita itu diterbitkan oleh penerbit dan dapat imbalan, halal atau tidak imbalan tersebut?
§  Apakah berpahala jika karangan fiksi itu isinya nasehat baik atau misi dakwah?
3.       Bagaimana pula dengan hukum mengikuti undian kuis seperti seperti dengan mengirim jawaban pada kartu pos atau mengirim bungkus kosong barang yang pemenangnya hanya diundi dan untung-untungan? Bagaimana hadiahnya dengan pemenangnya, halal atau tidak?
4.       Seorang guru membuat cerita karangan muridnya mengira benar-benar ada. Cerita itu disampaikan guru dengan tujuan mendidik dan memberi nasehat yang baik kepada muridnya. Seperti orang tua dulu memberi cerita si kancil kepada anaknya dengan tujuan memberi nasihat yang baik. Bagaimana hukum guru yang membuat cerita itu dan menyampaikanya kepada muridnya?
5.        Seorang guru sering dibuat jengkel dan kesal bahkan marah oleh tingkah laku atau sikap muridnya/ siswa. Bolehkah guru marah untuk mendidik? Bagaimana cara seandainya guru itu terpaksa harus menampakan rasa marahnya agar muridnya menurut?
Jawaban:
1.        Pegawai itu ada tiga macam:
§  Pegawai tetap, yaitu pegawai yang tetap mempunyai hak menerima gaji penuh meskipun dia sakit sampai satu bulan lebih atau tidak masuk karena cuti di luar tanggungan.
§  Pegawai bulanan, yaitu pegawai yang mempunyai hak penuh gaji satu bulan meskipun dia tidak masuk bekerja beberapa hari karena sakit atau cuti, kecuali cuti di luar tanggungan.
§  Pegawai harian, yaitu pegawai yang berhak menerima gaji satu hari penuh pada setiap hari. Dia datang untuk bekerja, meskipun pada jam tertentu dia tidak bekerja karena melakukan salat, makan dan sebagainya yang tidak dapat dihindarkan.
Jadi pegawai negeri yang sakit seperti tersebut pada pertanyaan, dia tidak berhutang, karena gaji yang telah diterima awal bulan itu sudah menjadi haknya.
Dasar pengambilan Kitab Hamsy dari syarah Kitab Ar-Raudl juz 2 halaman 412:
وَلَوْاسْتَأْ جَرَلِلأِمَا مَةْ وَلَوْ لِنَافِلَةٍ كَاتَّرَاوِيْحِ لَمْ يَصِحَّ (قَوْلُهُ لَوِ اسْتَأْ جَرَ) اِلَى آخِرِهِ, ظَنَّ بَعْضُهُمْ اَنَّ اْلجَمْكِيَّةَ عَلَى الاْءِمَامَةِ وَالطَّلَبِ وَنَحْوِهِمَامِنْ بَابِ الاءِجَارَةِ حَتَّى لاَ يَسْتَحِقُّ شَيْأً اِذَا أَخَلَّ بِبَعْضِ اَيَّامٍ اَوِالًَصَّلاَة. وَلَيْسَ كَذَالِكَ, بَلْ هُوَ مِنْ بَابِ الاءِ رْصَادِ وَاْلاَ رْزَاقِ اَلْمَبْنِيِّ عَلَى اْلاءِحْسَانِ وَاْلمُسَامَحَةِ. بِخِلاَفِ اْلاءِجَارَةِ فَاءِنَّهَا مِنْ بَابِ اْلمُعَاوِضَةِ. وَلِهَذَا يَمْتَنِعُ اَخْذُ اْلأُجْرَةِ عَلَى اْلقَضَاءِ, وَيَجُوْزُ اِرْزَاقُهُ مِنْ بَيْتِ اْلمَالِ بِالاءِجْمَاعِ.
Andaikata seseorang yang mengambil upah untuk menjadi imam salat meskipun salat sunat seperti salat sunat tarawih, maka hukumnya tidak sah. (ucapan musanif “Andaikata seseorang mengambil upah”) dan seterusnya, sebagian dari ulamak ada yang mengira bahwa gaji mengimami dan uang saku karena menuntut ilmu dan yang seperti keduanya adalah termasuk bab ijarah (mengambil upah) sehingga seorang imam tidak berhak sedikit pun dari gaji tersebut apabila seorang imam tidak mengimami pada sebagian hari atau sebagian salat. Yang benar tidaklah demikian; melainkan gaji tersebut adalah termasuk bab pemberian nafkah dan pemberian rizqi yang di dasarkan pada perbuatan baik dan toleransi. Berbeda dengan buruh yang mengambil upah, maka upah tersebut termaduk pemberian imbalan. Oleh karennya, seseorang tidak boleh mengambil upah karena memutuskan perkara, tetapi boleh memberi rizqi kepeda hakim yang memutuskan perkara dari baitul maal (kas negara) menurut ijma’.
2.         Jika novel, komik, cerita dan lainya yang dikarang seperti tersebut dalam pertanyaan itu hanya dimaksudkan sebagai hiburan yang tidak memiliki muatan pendidikan dan nasihat, maka pengaranya termasuk orang yang berbuat sia-sia padahal perbuatan sia-sia itu harus di tinggalkan oleh setiap orang muslim yang baik, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
مِنْ حُسْنِ الأِسْلاَمِ اْلمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْه.
Termasuk kebaikan islam orang itu adalah meniggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.
Jika novel, komik, ceritera lainnya tersebut berisi pelecehan terhadap nilai-nilai agama, maka hukumnya berdosa.
Jika ceriteranya hanya sekedar hiburan belaka maka honor yang diperolehnya halal tetapi tidak membawa berkah. Dan jika berisi pelecehan terhadap nilai-nilai agama maka hukumnya haram, karena honor tersebut diterima dari hasil pekerjaan yang haram.
Jika ceriteranya berisi nasihat dan muatan dakwah, maka perbuatanya mendapat pahala selama ceritera tersebut tidak terdapat kebohongan (khayalan yang dusta).
Dasar pengambilan Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Sayyidah Umi Kulsum:
مَارَحَّصِ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم شَيئاً مِنَ اْلكِذْبِ اِلاَّ فِى ثَلاَثٍ: الَّرجُلُ يَقُوْلُ اْلقَوْلَ فِى اْحَرْبِ, وَالَّرجُوْلُ يَقُوْلُ اْلقَوْلَ يُرِيْدُ الاءِ صْلاَحَ وَالَّر جُلُ يُحَدّ ِث اِمْرَأتَهُ.
Tiadalah Rasulullah saw, memberi keringanan sedikitpun dari orang yang berdusta, kecuali dalam tiga hal: Laki-laki yang berdusta kepada musuh dalam waktu perang. Laki-laki yang berdusta untuk mendamaikan orang muslim yang bertengkar. Laki-laki yang berdusta kepeda istrinya dengan mengatakan makanaya enak (padahal itu tidak enak) untuk tidak menyakiti hatinya.
3.       Hukumnya boleh, sebab semua orang yang mengikuti undian tersebut tidak mengeluarkan uang taruhan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab fiqih sebagai qimar/judi.
Hadiahnya halal, karena hanya sebagai bonus dari barang yang telah dibelinya atau sebagai hadiah dari yang mengadakan kuis.
Dasar pengambilan Ahkamul Fuqoha Juz 3 halaman 16-17:
وَأمَّا مَسْئَلَةُ هـ (مَسْأَلَةُ القَرْعَةِ) فَحُكْمُهَا عَلَىالتَّفْضِيْلِ الآتِى: أ. إذَا كَانَتِ القَرْعَةُ مُعْتَدَةً عَلَى غَنَمٍ اَوْ غَرَمٍ فَحُكْمُهَا حَرَامٌ لأَنَّهَا مِنْ القِمَار. ب. إِذَا كَانَتِ القَرْعَةُ غَيْرَ مُعْتَمِدَةٍ عَلَى غَنَمٍ أَوْ غَرَمٍ لَكِنْ تَتَضَمَّنُ عَلَى هَدِيَّةٍ غَيْرِ مُعَيَّنَةٍ كَمَا جَرَى بَيْنَنَا مِنْ أنَّ المُشُتَرِى يَشْتَرِى شَيْئًا بِثَمَنِ المِثْلِ ثُمَّ هُوَ يَتَسَلَّمُ وَرَقَةً مَعْدُودَةً فِيْهَا هَدِيَّةٌ غَيْرُ مُعَيَّنَةٍ بَلْ عَلَى حَسَبِ القَرْعَةِ أوْ مَا جَرَى مِنْ بَيْنِنَا مِنْ أَنَّ مَنْ يُسَاعِدُ لِبِنَاءِ البُنْيَانِ لِجِهَّةِ الخَيْرِ كَبِنَاءِ المَدْرَسَةِ اَو الرِّبَاطٍ لِلْمَعْهَدِ الدِّيَنِي اَو المَسْجِدِ اَو غَيْرِهَا يَتَسَلَّمُ الوَرَقَةَ المَذْكُورَةَ, ثُمَّ بَعْدَ القَرْعَةِ فَمَنْ وَافَقَتْ وَرَقَتُهُ إلَى بَعْضِ الهَدَايَا المُهَيَّئَةِ فَهُوَ الَّذِى يَسْتَحِقُّ أنْ يَتَسَلَّمَ الهَدِيَّةَ فَلَيْسَتْ تِلْكَ القَرْعَةُ حَرَامًا لأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنَ القِمَارِ بِشَرْطِ أنْ تَكُونَ الهَدَايضا المُهَيَّئَةُ غَيْرَ مَأْخُوذَةٍ مِنْ بَعْضِ المُسَعَادَاتِ.
“Adapun masalah Ha’ (masalah undian) maka hukumnya adalah menurut perincian mendatang: (1) Apabila undian itu didasarkan pada untung rugi, maka hukumnya adalah haram, karena undian tersebut termasuk qimar (judi); (2) Apabila undian itu tidak didasarkan pada untung atau rugi, tetapi menjamin hadiah yang tidak ditentukan seperti yang berlaku diantara kita sekarang ini, yaitu bahwa pembeli yang membeli sesuatu dengan harga yang sepadan, kemudian dia menerima surat undian yang telah dijanjikan yang didalam surat itu tertulis hadiah yang tidak ditentukan, tetapi hanya menurut hasil undiannya. Atau apa yang berlaku diantara kita, misalnya orang yang memberikan sokongan untuk membangun sebuah bangunan-bangunan untuk kebaikan, seperti bangunan madrasah, atau pondok pesantren atau masjid atau lainnya, orang tersebut menerima surat undian seperti tersebut. Kemudian setelah diundi, maka siapa saja yang surat undiannya cocok dengan sebagian dari hadiah-hadiah yang telah ditentukan, maka dialah yang berhak menerima hadiah. Undian seperti ini tidaklah haram, karena tidak termasuk qimar (judi). Hadiah yang disediakan tersebut disyaratkan tidak diambilkan dari sebagian uang sokongan”.
4.       Hukumnya boleh, karena tokoh-tokoh yang ada dalam cerita yang disampaikan oleh guru seperti tokoh kancil dalam cerita orang tua dahulu kepada anaknya, hanyalah sebagai media (perantara) untuk memudahkan sang anak menerima dan memahami isi cerita yang disampaikan; sebab anak yang masih kecil itu masih sulit untuk memahami sesuat yang bersifat abstrak.
Dasar pengambilan Qaidah Ushul Fiqh
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ المَقَاصِدِ
‘Perantara-perantara itu mempunyai hukum seperti hukum dari tujuan-tujuannya”.
5.        Dalam ilmu mendidik yang paling modern sekarang ini memang masih dikenal sistem:
§  Hukuman yang dapat berbentuk sikap marah yang ditunjukkan oleh guru kepada murid yang lalai terhadap kewajibannya, dengan maksud agar tidak lagi mengulangi kelalaiannya.
§  Hadian yang dapat berbentuk pujian yang disampaikan guru kepada muridnya yang meraih prestasi, dengan maksud agar dia mempertahankan bahkan meningkatkan prestasi yang telah dicapainya dan juga memberi dorongan kepada murid-murid yang lain untuk meraih prestasi.
§  Persuasi atau rayuan atau bujukan yang dilakukan oleh guru kepada murid yang tidak mau mengerjakan tugas yang tidak disukainya.
Sudah barang tentu dalam menjalankan tiga macam sistem tersebut harus dijaga jangan sampai berlebihan, sehingga akan membawa dampak yang negatif bagi tujuan pendidikan itu sendiri
Deskripsi :
Perlukah ketika akan salat janazah, mengambil wudlu terlebih dahulu? Bagaiman kalau tidak berwudlu terlebih dahulu, sah atau tidak? Mohon penjelasan dengan dalil dan alasannya.
Jawaban:
Salat jenazah tidak sah dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai wudlu sebagaimana salat-salat yang lain.
Dasar pengambilan sebagaimana dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim sebagai berikut:
وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَيَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّّى يَتَوَضَّأَ. رَوَاهُ البُخَارِى (130) وَمُسْلِمٌ (225) وَعِنْدَ مُسْلِمٍ (224): لاَتُقْبَلُ الصَّلاَةَ بِغَيْرِ طَهُورٍ.
Rasulullah saw. Bersabda: “Allah tidak dapat menerima salah seorang dari kamu sekalian apabila dia berhadast, sehingga berwudlu. HR. Bukhori (135) dan Muslim (225). Dalam riwayat Muslim yang lain (224): Salat itu tidak diterima tanpa bersuci
Deskripsi :
Masih menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita, yaitu tata cara mengubur ari-ari, yang mana dalam mengubur ari-ari itu biasanya diikutsertakan tulisan (aksara) jawa dll.
Apakah perbuatan itu dicontohkan oleh Rasulullah saw atau para sahabat? Apakah dalilnya? Kalau memang ada mengapa dalam mengikutsertakan aksara itu kok bukan aksara arab? Padahal aksara Jawa itu peninggalan orang Hindu?
Apakah benar tingkah laku orang yang mengubur ari-ari itu dalam keadaan berhias diri, maka anaknyapun akan senang berhias. Benarkah demikian?
Jawaban:
Rasulullah saw dan para sahabat beliau tidak pernah memberikan contoh tentang menguburkannya. Apa yang anda sebutkan hanyalah tradisi dari sebagian suku Jawa saja. Sebab, di Kalimantan setahu kami, orang-orang Banjar membuang ari-ari atau ditimbun di sungai begitu saja. Sementara orang-orang Manado menjemur tembuni sampai kering, kemudian disimpan.
Tingkah laku orang yang mengubur ari-ari itu tidak mempengaruhi kelakuan anak yang ari-arinya dikubur. Sebab dalam hadist Nabi saw yang panjang diterangkan bahwa tingkah laku anak itu telah ditentukan oleh Allah swt pada saat bayi berumur empat bulan dalam perut ibunya. Anggapan yang mengatakan bahwa tingkah laku orang yang mengubur ari-ari itu mempengaruhi tingkah laku anak yang memiliki ari-ari hanyalah bersifat sugesti dan gugon tuhon saja

Deskripsi :
Bagaimana hukumnya menabuh ketipung (kendang) yang mengirinyi (instrument) atraksi Pencak Silat? Kitab apa dan halaman berapa?
Jawaban:
Hukumnya memainkan alat musik itu asal hukumnya boleh, kecuali alat-alat musik yang biasa dipakai untuk mengiringi perbuatan-perbuatan maksiat.
Dasar pengambilan Kitab Ihya’ Ulumuddin juz 2 halaman 282
العَارِضُ الثَّانِى فِى الآلاَتِ بِأَنْ تَكُوْنَ مِنْ شِعَارِ أهْلِ الشُّرْبِ وَالمُخَنِّثِيْنَ وَهِيَ المَزَامِيْرُ وَالأوْتَارُ وَطبْلُ الكَوْبَةِ. فَهَذِه ثَلاَثَةُ أنْوَاعٍ مَمْنُوعَةٌ. وَمَا عَدَا ذَلِكَ يَبْقَى عَلَى أَصْلِ الإِبَاحَةِ كَالدُّفِّ وَإنْ كَانَ فِيْهِ الجَلاَجِلُ.
Alasan yang kedua mengenai alat-alat musik, adalah apabila alat-alat tersebut termasuk syiar tukang mabuk dan para mukhannist (orang yang berhias menyerupai wanita untuk dilihat orang lain) seperti seruling, gitar dan kendang kecil. Ketiga macam alat ini adalah dilarang. Adapun lainnya masih tetap dalam kebolehannya seperti rebana, meskipun ada kencernya”.
Deskripsi :
1.         Misalnya seorang yang mau menjadi pemimpin (kepala desa) atau pegawai diharuskan membayar dahulu (menyogok) padahal itu dosa. Tapi bila tidak menyogok tidak akan jadi. Lalu misal kesempatan itu diambil orang lain (kristen) , sehingga kesempatan itu secara tak langsung kita telah memberi kesempatan pada orang kristen jadi pemimpin. Bagaimana hukumnya menyogok bila tujuannya untuk menghalangi supaya yang jadi pemimpin itu bukan orang kristen?
2.         Bagaimana hukumnya kalau ada orang Islam percaya dan mengikuti pada ramalan misal; nogo dino atau mau bepergian, bangun rumah, tanam-tanaman cari hari baik yang dasarnya tidak ada dalam al Quran dan hadist? Bagaimana batas-batasnya aqidah tentang perbuatan di dunia dan akhirat?
3.         Orang yang menyumbang uang untuk bangun Masjid yang seharusnya dibelikan bahan material supaya melekat di masjid, tetapi oleh panitia uang tersebut digunakan untuk ongkos tukang, sehingga uang tersebut tidak melekat pada Masjidnya. Apa masih termasuk amal jariah/amal yang mengalir terus? Bagaimana batasan-batasan amal jariah itu?
Jawaban:
1.         Sebelum kami menjawab pertanyaan anda, perlu anda ketahui perbuatan menyuap atau menyogok itu pada dasarnya dilarang oleh Islam. Namun, menyuap atau menyogok sekarang ini terkenal dengan istilah kolusi. Kolusi ini telah merajalela di Negara Republik Indonesia, mulai tingkat bawah sampai ketingkat yang paling atas. Bahkan untuk dapat naik pangkat atau menerima uang operasional antar bagian dalam satu instansi saja sudah berlaku permainan kolusi ini. Hal ini adalah perbuatan dzalim yang harus diberantas oleh setiap muslim yang memiliki iman yang kuat, meskipun dia harus menderita karenanya. Karena dalam kitab al Hikam telah disebutkan:
حَقٌّ يَضُرُّ خَيْرٌ مِنْ بَاطِلٍ يَسُرُّ.
“Kebenaran yang memberi melarat adalah tetap lebih baik daripada kebatilan yang menyenangkan.”
Untuk mengetahui apakah menyuap seperti yang anda tanyakan itu boleh atau tidak menurut agama Islam, kami persilahkan anda menyimak dan memahami keterangan dari kitab al Bujairimi ‘ala al Khotib juz 3 halaman 218, sebagai berikut:
(قَوْلُهُ مِنْهَا الهبَّةُ لأَرْبَابِ الوِلاَيَاتِ وَالعُمَّالِ) لأَنَّهَا رَشْوَةٌ وَالرَّشْوَةُ حَرَامٌ إذَا كَانَتْ وَسِيلَةً لِمُحَرَّمٍ كَإِقَامَةِ بَاطِلٍ وَتَرْكِ حَقٍّ وَإلاَّ فَلاَ تَحْرُمُ.
“Diantara hal-hal yang diharamkan itu adalah pemberian kepada para pemilik (pemegang kekuasaan dan para karyawan), karena pemberian itu adalah suap. Sedangkan suap itu adalah haram jika menjadi perantara untuk pekerjaan yang diharamkan seperti menegakkan kebatilah dan meninggalkan kebenaran. Jika tidak demikian, maka tidak haram”.
2.       Dalam buku Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamaah terbitan tahun 1996 yang disusun oleh Drs. KH. Achmad Masduqi Mahfud, Wakil Rais PWNU Jatim halaman 14 disebutkan bahwa salah satu empat makna yang terkandung dalam dua Kalimat Syahadat adalah:
”membatalkan semua konsep kebahagiaan hasil renungan akal fikiran manusia yang telah ada di seluruh dunia, kemudian hanya menetapkan konsep kebahagiaan yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Besar Muhammad SAW selaku utusan Allah”.
Jadi apabila ada orang Islam yang masih meyakini nogo dino atau hari-hari tertentu masih mempunyai pengaruh dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan bagi dirinya, maka berarti dia telah merusak syahadat yang telah dia ucapkan. Namun demikaian, ada pula ibarat dari kitab Talkhisul Murad, hamisy dari kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 206 yang berbunyi sebagai berikut:
وَذَكَرَ اِبْنُ الفَرْكَاحِ عَنِ الشَّافِعِيُّ اَنَّهُ اِنْ كَانَ المُنَجِّمُ يَقُوْلُ وَيَعْتَقِدُ اَنَّهُلاَيُؤَثِرُ اِلاَّ اللهُ وَلَكِنْ اَجْرَى اللهُ اْلعَادَةَ بِاَنَّهُ يَقَعُ كَذَا عِنْدَ كَذَا وَاْلمُؤْثِرُهُوَااللهُ عَزَّ وَجَلَّ فَهَذَا عِنْدِى لاَبَأْسَ بِهِ. وَحَيْثُ جَاءَ اَلدَّ مُّ يُحْمَلُ مَنْ يَعْتَقِدُ تَأْثِيْرَ النُّجُوْمِ وَغَيْرَهَامِنَ اْلمَحْلُوْقَاتِ. وَفْتَى الزَّمْلَكَانِ بِاالتَّحْرِيْمِ مُطْلَقًا.
“Ibnul Farkah menuturkan dari Asy Syafii bahwa sesungguhnya jika ahli nujum berkata dan meyakini bahwa sesungguhnya tidak ada yang dapat memberi pengaruh kecuali Allah, tetapi Allah telah melakukan / menjalankan adat kebiasaan bahwa sesungguhnya kejadian demikian ini terjadi pada waktu demikian, sedangkan yang memberi pengaruh adalah Allah ‘azza wa jalla. Keyakinan seperti ini menurut saya berbahaya. Dan celaan yang datang dibawa pada orang yang meyakini dan meyakinkan akan pengaruh bintang-bintang dan makhluk-makhluk lainnya. Imam Az Zamlakani memberi fatwa dengan keharaman mutlak”.
3.       Termasuk amal jariyah, karena bahan material seperti semen, tegel dan lain sebagainya tidak akan melekat tanpa tukang. Sedang tukang tidak akan mau bekerja tanpa diberi ongkos. Yang dimaksud dengan amal jariyah itu adalah amal yang pahalanya mengalir terus selama benda yang diamalkan tersebut masih dimanfaatkan, sedang benda yang dijariyahkan dapat dimanfaatkan berkat uang yang dipergunakan untuk ongkos tukang.
Dasar pengambilan kaidah Ushul Fiqih:
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ المَقَاصِدِ.
Perantaraan-perantaraan itu mempunyai hukum dari tujuan-tujuan


Deskripsi :
Budidaya kodok akhir –akhir ini prospeknya cukup bagus. Sehingga di kalangan muslim sendiri tidak sedikit yang ikut-ikutan budi daya kodok. Kami pernah menanyakan dalam lailatul ijtima’ (dalam acara bahstu masail) dan jawabanya dinyatakan haram, hanya saja dasar dalilnya masih ditangguhkan.
Kalau memang di haramkan mohaon penjelasannya juga dasar dalilnya. Bila ada yang kurang benar mohon di benarkan, terima kasih.
Jawaban:
Menurut pendapat mazhab yang benar dan didukung oleh pendapat jumhur ulama’ (sebagian besar ulama’) , kodok itu hukumnya haram dimakan dagingnya. Setiap makana yang haram dimakan haram pula dijual dan uangnya hasil penjualanya haram.
Dasar pengambilan Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab juz 9 halaman 32:
اَلضَّرْبُ الثَّا نِى مَايَعِيْشُ فِى اْلمَاءِ وَفِى اْلبَرِّ اَيْضًا... اِلَى اَنْ قَالَ: وَعَدَّ الشَيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ وَاِمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِى هَذَا الَضَّرْبِا اَلضِّفْدَعَ وَالسَّرْطَانَ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى اْلمَذْ هَبِ اَلصَّحِيْحِ الْمَنْصُوْصِ وَبِهِ قَطَعَ اْلجُمْهُوْرُ. وَفِيْهَاقَوْلٌ ضَعِيْفٌ اَنَّهُمَا حَلاَلٌ.
Macam yang kedua dari binatang yang haram di makan dagingnya adalah binatang yang hidup di air dan juga yang hidup di darat… sampai pada ucapan mushanif: Asy syeikh Abu hamid dan Imam Haramaini menghitung katak dan kepiting dalam macam ini menurut mazhab yang benar yang telah di tetapkan, dan jumhur ulama’ telah memutuskan pendapat ini. Dalam pendapat-pendapat yang mengenai hal ini ada pendapat yang lemah mengatakan kodok dan kepiting itu hukumnya halal
Deskripsi :
Beberapa tahun yang lalu si Ali terserang penyakit yang cukup parah. Sehingga mengharuskan istirahat yang berkepanjangan. Sejauh itu, ia pernah meninggalkan salat fardlu selama tidak di ketahui bilanganya, artinya lupa sama sekali berapa yang telah ditinggalkanya. Ia sudah berusaha mengingat-ingat, tapi tetap lupa (tidak ingat sama sekali).
1.        Bagaimana cara menggantikanya dan berapa waktu/bilangan yang harus diganti?
2.       Dosakah ia, melihat yang ditinggalkanya sangat banyak?
Jawaban:
1.        Cara meng-qadla’ salatnya dapat dilakukan dengan qadla’ keliling, meng-qadla’ salat zuhur pada waktu salat zuhur, meng-qadla’ salat ashar pada waktu ashar, meng-qadla’ salat magrib pada waktu salat magrib, meng-qadla’ isyak pada waktu salat isyak dan salat subuh pada waktu subuh, atau dengan cara lainnya sebagaimana disebutkan dalam kitab–kitab fiqih. Sedangkan jumlah yang harus di-qadla' adalah jumlah yang diyakini telah ditinggalkan.
Dasar pengambilan Kitab Al Mustarsyidin halaman 36:
شَكَّ فِى قَدْرِفَوَائِتَ عَلَيْهِ لَزِمَهُ الاِتْيَانُ بِكُلِّ مَالَمْ يَتَيَّقَنْ فِعْلَهُ كَمَا قَلَ اِبْنُ حَجَرٍوَمَ ر. وَقَالَ القَفَّالُ: يَقْضِى مَا تَحَقَّقَ تَرْكَهُ.
Seseorang telah ragu mengenai jumlah salat-salat yang ditinggalkan, maka wajib baginya melakukan salat yang dia yakini telah melakukannya, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar dan Mim Ra’, Imam Qoffal berkata: Dia harus mengqadla’ apa yang telah nyata meninggalkanya.
2.       Dia tidak berdosa karena salat yang ditinggalkanya terlalu banyak, tetapi berdosa karena sengaja meninggalkan salat. Sebab seseorang itu jika tidak dapat melakukan salat dengan berdiri, dia harus salat dengan duduk. Jika tidak dapat salat dengan duduk, maka dia harus salat dengan tidur atau miring. Dan jika tidak dapat salat dengan tidur miring, maka dia harus salat dengan tidur terlentang.
Dasar pengambilan Kitab Kasyifatus Saja, Syarah dari Kitab Safinatun Naja halaman 53:
وَاْلاَ صْلُ فِى وُجُوْبِ اْلقِيَامِ قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلَّمَ لِعِمْرَانَ بْنُ حُصَيْنٍ, وَكَانَتْ بِهِ بَوَاسِيْرُ, صَلِّ قَائِمًا فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَا عِدًا فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جُنُبٍ, رَوَى هَذِهِ الاَحْو اَلَ الَثَلاَثَةَ اَلْبُخَرِيُّ. وَزَادَ اَلنَّسَائِيُّ اْلحَالَة الرَّبِعَةَوَهِيَ فَاِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلِيْقًا لاَ يُكَلِّفُ اللهَ نَفْسًا اِلاَّ وُسْعَهَا.
Asal dari kewajiban berdiri dalam salat fardlu adlah sabda Nabi saw. Kepada Imran bin Husain, beliau menderita penyakit bawasir: Salatlah engkau dengan berdiri jika engkau tidak mampu, maka dengan duduk, jika engkau tidak mampu, maka dengan tidur miring. Imam An Nasa’i menambahkan keadaan yang keempat, jika engkau tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan tidur terlentang. Allah tidak memaksa seseorangَ kecuali pada batas kemampuannya
Deskripsi :
1.        Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari hukum agama. Lebih-lebih di daerah kami, yang awam hukum agama. Ada suatu kejadian, seorang wanita hamil yang sembilan bulan meninggal karena kecelakaan. Yang saya tanyakan yaitu:
a.        Bagaimana nash yang berkaitan dengan meninggal dunia mendadak, apakah tergolong mati syahid, padahal wanita tersebut jarang salat?
b.       Bagaimana cara mengkafaninya jenazahnya, apakah anak yang ada dalam kandunganya perlu di operasi dan dikafani sendiri karena anak juga mati dalam kandungan?
c.        Bagaimana cara salat terhadap jenazah tersebut karena mayitnya dua, yakni ibu dan anak?
d.       Bagaimana hukumnya apabila kita menyolatkan karena orang tersebut agamanya setengah-setengah, kadang salat dan kadang tidak walaupun tidak berhalangan?
2.       Dalam dunia sekarang persaingan sangat hebat. Lebih-lebih dalam olah raga. Seperti tinju, sepak bola putri, angkat besi putri, dll. Yang saya tanyakan:
a.        Bagaimana hukumnya olah raga tinju khususnya pelaku dan promotor, karena itu merugikan salah satu pihak dan bersifat judi?
b.       Bagaimana hukumnya orang-orang putri yang ikut andil dalam olah raga seperti sepak bola, angkat besi, renang dll, kaitannya dengan aurat?
c.        Bagaimana tangung jawab para ulama’ yang melihat kejadian tersebut padahal mengerti itu melanggar syariat islam?
Jawaban:
Permasalahan 1
1.        Wanita tersebut hukumnya mati syahid, tapi syahid ahirat saja.
Dasar pengambilan Kitab Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri juz 1 halaman 254:
وَمَّاشَهِيْدُ الاَخِرَةِ فَقَطُّ فَهُوَ كَغَيْرِ الَشَهِيْدِ فَيُغْسَلُ وَيُكْفَنُ َيُصَلِّى عَلَيْهِ وَيُدْفَنُ وَقَدْ احْتَرَزَ المُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ فِى مَعْرَكَةِ المُشْرِكِيْنَ. وَاَقْسَامُهُ كثِيْرَةٌ فَمِنْهَا: اَلْمَيِّتَةُ طَلْقًا وَلَوْ كَانَتْ حَامِلاً مِنْ زِنًا, وَاْلمَيَّّتُ غَرِِيْقًا وَاِنْ عَصَى بِرُكُوْبِ اْلبَحْرِ, وَاْلمَيَّتُ هَدِيْمًا اَوْحَرِيْقًا اَوْغَرِيْقًا اَوْ غَرِيْبًا وَاِنْ عَصَى بِالْغُرَبَةِ وَالْمَقْتُوْلُ ظُلْمًا وَلَوْ هَيْئَةً كَاِنِ سْتَحَقََّ شَخْصٌ خَرَّ رَقَبَتِهِ فَقَدَّهُ نِصْفَيْنِ وَالْمَيِّتُ بِالْبَطْنِ اَوْفِى زَمَنِ الطَّاعُوْنِ وَلَوْ بِغَيْرِهِ لَكِنْ كَانَ صَابرًا مُحْتَبِِسًا اَوْ بَعْدَهُ وَكَانَ فِى زَمَنِهِ كَذَالِكَ, وَاْلمَيِّتُ فِى طَلَبِ اْلعِلْمِ وَلَوْ عَلَى فِرَاشِهِ, وَالْمَيِّتُ عِشْقًا وَلَوْ لِمَنْ لَمْ يُبِحْ وَطْؤُهُ كَاَمْردَبِشَرْطِ اْلعِفَّةِ حَتَّى عَنِ النَّظْرِ بِحَيْثُ لَوِاحْتَلَى بِمَحْبُبِهِ لَمْ يَتَزجَاوَزِ الِشَرْعَ وَبِشَرْطِ الْكِتْمَانِ حَتَّى عَنْ مَعْشُوْقِهِ.
Adapun syahid di akhirat saja, maka dia adalah seperti bukan syahid, sehingga dia dimandikan, dikafani, disalati, dan dikubur. Mushonnif membatasi diri dengan ucapannya ”dalam peperangan melawan orang musyrik”.
Adapun macam-macam orang mati syahid akhirat saja ini, banyak, antara lain:
§  Wanita yang mati karena melahirkan anaknya, meskipun dia hamil dari zina.
§  Orang yang mati tenggelam, meskipun dia naik perahu atau kapal sebab maksiat.
§  Orang yang mati tertimpa reruntuhan atau terbakar atau berkelana (mengembara) meskipun berkelana sebab maksiat.
§  Orang yang dibunuh secara aniaya, meskipun dalam bentuknya, seperti apabila seseorang memiliki hak akan kematian budak beliannya, kemudian dia memotong budaknya yang telah mati menjadi dua bagian.
§  Orang yang mati sebab sakit perut atau pada masa wabah penyakit, meskipun kematiannya karena sebab yang lain, tetapi dia bersabar dan tidak keluar dari daerahnya, atau mati sesudah wabah penyakit, sedangkan dia pada masa wabah tersebut juga demikian (bersabar dan tidak keluar dari daerahnya).
§  Orang yang mati dalam menuntut ilmu, meskipun dia mati di atas tempat tidurnya.
§  Orang yang mati karena sakit asmara meskipun dia jatuh cinta kepada orang yang tidak halal untuk disetubuhi. Seperti laki-laki yang jatuh cinta kepada gadis cantik dengan syarat dia tidak berbuat maksiat sampai dari memandang orang yang dicintai. Sehingga andaikata dia sendirian bersama kekasihnya, niscaya dia tidak melanggar syara’ dan dengan syarat dia simpan rasa cintanya tersebut, sampai terhadap orang yang dicintainya.
2.         Cara mengafani wanita tersebut seperti mengafani mayit lainnya. Artinya, bayi dalam kandungannya yang sudah mati tidak boleh dioperasi.
Dasar pengambilan Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 95:
(مَسْأَلَةٌ) مَاتَتْ وَفِى بَطْنِهَا جِنِينٌ, فَإنْ عُمِلَتْ حَيَاتُهُ وَرُجِيَ عَيْشُهُ بِقَولِ أَهْلِ الخِبْرَةِ شُقَّ بَطْنُهَا اى بَعْدَ أنْ تُجْهَزَ وَتُوضَعَ فِى القَبْرِ وَإنْ تُرْجَ الحَياةُ وُقِفَ دَفْنُهَا وُجُوبًا حَتَّى يَمُوتَ وَلاَ يَجُوزُ ضَرْبُهُ حِيْنَئِذٍ وَإِنْ لَمْ تُعْلَمْ حَيَاتُهُ دُفِنَتْ حَالاً.
(Masalah) Ada seorang wanita mati sedang dalam perutnya ada janin. Maka jika diketahui kehidupan janin tersebut, dan dapat diharapkan kelangsungan hidupnya berdasarkan pendapat para ahli, maka wajib dibelah (dioperasi) perut wanita tersebut, artinya setelah dirawat dan diletakkan dalam kubur.
Jika tidak dapat diharapkan kelangsungan hidup janin tersebut, maka pemakaman wanita tersebut wajib ditangguhkan sehingga janin yang ada dalam perutnya mati. Pada waktu yang demikian itu tidak boleh memukul janin (supaya lekas mati).
Jika tidak diketahui kehidupan janin yang ada dalam perutnya, maka wanita tersebut harus dikubur seketika.
3.         Yang wajib disalati ibunya saja, sedang bayi yang sudah mati dalam kandungan tidak wajib dimandikan, dikafani dan disalati.
Dasar pengambilan Kitab Hasyiah Syaikh Ibrahim Baijuri juz 1 halaman 253
وَأَمَّا فِى السَقِيِطِ فِهُوَ فِى بَعْضِ أحْوَالِهِ وَهُوَ مَا إذَا لَمْ تُعْلَمْ حَيَاتُهُ وَلَمْ يَظْهَرْ خَلْقُهُ فَإِنَّهُ لاَ يَجِيْبُ غَسْلُهُ وَلاَ الصَلاَةُ عَلَيْهْ.
Adapun mengenai bayi yang keguguran, bayi tersebut tetap pada sebagian dari keadaan-keadaannya. Yaitu jika tidak diketahui kehidupannya dan tidak nampak bentuk kejadiaannya, maka tidak wajib memandikannya dan tidak pula wajib salat atasnya.
4.       Menurut sebagian ulama kita masih berkewajiban melakukan salat terhadapnya, karena menurut akidah ahlu as sunnah orang yang masih mau melakukan salat meskipun kadang-kadang, adalah dihukumi sebagai muslim yang maksiat.
Dasar pengambilan Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 93
(مَسْأَلَةُ. ب) يَجِيْبُ تَجْهِيْزُ كُلِّ مُسْلِمٍ مَحْكُومٍ بِإِسْلاَمِهِ وَإنْ فَحِشَتْ ذُنُوبُهُ وَكَانَ تَارِكًا لِلصَّلاَةِ وَغِيْرِهَا مِنْ غَيْرِ جُحُودٍ.
(Masalah B) Wajib merawat mayat dari setiap muslim yang ditetapkan hukum keislamannya, meskipun sangat keji dosa-dosanya dan dia meninggalkan salat dan lainnya tanpa sikap menentang.
Permasalahan 2
1.        Hukum olah raga “tinju” saja sudah haram, apalagi ada pihak yang dirugikan dan mengandung unsur perjudian.
Dasar pengambilan Kitab Syarah Sulam Taufiq halaman 74
وَمِنْهَا اى مِنْ مَعَاصِى اليَدَيْنِ الضَرْبُ بِغَيْرِ حَقٍّ. .. إلَى أنْ قَالَ: فَالَّذِى بِغَيرِ حَقٍ هُوَ كَضَرْبِ غَيْرِ ذَلِكَ او ضَرْبِ ذَلِكَ فِى الوَجْهِ.
Dan diantaranya, yaitu di antara kemaksiatan-kemaksiatan kedua tangan adalah memukul dengan tanpa alasan yang benar ... sampai pada ucapan pengarang: pukulan dengan tanpa alasan yang benar adalah pukulan kepada selain istri yang tidak patuh dan anak umur 10 tahun yang meninggalkan salat; atau memukul pada muka isteri yang tidak patuh dan anak umur 10 tahun yang meninggalkan salat.
2.       Hukumnya berdosa karena membantu perbuatan dosa.
Dasar pengambilan Al Quran surat al Maidah ayat 2 yang antara lain berbunyi:
... وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالعُدْوَانِ, وَاتَّقُوا اللهَ إنَّ اللهَ شَدِيْدُ العِقَابِ.
... dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah ; sesungguhnya Allah itu maha berat siksanya.
3.       Jika ada orang alim yang mendiamkan perbuatan maksiat yang merajalela di tengah-tengah masyarakat dan tidak berusaha memberantasnya, maka laknat Allah yang akan ditimpakan kepadanya.
Dasar pengambilan Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
إِذَا ظَهَرَالبِذْعُ وَسَكَتَ العَالِمُ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ.
Apabila perbuatan bid’ah telah nampak sedangkan orang alim diam, maka atasnyalah laknat Allah
Deskripsi :
Orang meninggal pukul 18.00 (6 sore) tidak langsung dikuburkan akan tetapi masih diinapkan semalam di rumah duka dan akan dikuburkan keesokan harinya. Selama itu bagaimanakah posisi jenazah yang benar?
Apakah dibaringkan membujur ke utara selatan (kepala di utara dan kaki di selatan) ataukah membujur ke barat timur (kepala di sebelah barat dan kaki di sebelah timur).
Kedua cara ini sama-sama pernah saya lihat sendiri. Mohon penjelasan. Manakah yang benar menurut tuntunan agama (Rasulullah) dari keduanya? Syukur-syukur kalau dilengkapi dengan rujukan kitab/nashnya. Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Jawaban:
Sampai saat jawaban ini kami buat, kami belum menemukan ibarat kitab yang menerangkan bagaimana seharusnya posisi mayat pada waktu diinapkan dirumah duka. Yang kami jumpai adalah posisi mayat waktu di salati saja. Jadi sebaiknya menurut hemat kami posisi mayat sewaktu diinapkan disamakan saja dengan posisi sewaktu disalati, agar jika selama diinapkan tersebut, bila ada orang yang ingin melakukan salat jenazah (sesudah dimandikan) tidak usah memindah posisinya lagi. Menurut keterangan dari kitab Tanwirul Qulub halaman 212 posisinya sebagai berikut:
وَأَنْ يُجْعَلَ رَاسُ الذَّكَرِ عَنْ يَسَارِ الإمَامِ وَيَقِفُ الإمَامُ قَرِيْبًا مِنْ رَأسِهِ وَرَأسُ الأُنَثَى عَنْ يَمِيْنِهِ وَيَقِفُ عِنْدَ عَجْزِهَا.
dan hendaklah kepala laki-laki dijadikan di sebelah kiri imam (membujur ke selatan utara dengan kepala disebelah selatan) dan imam berdiri di dekat kepalanya; dan kepala perempuan di sebelah kanan imam (membujur ke utara selatan dengan kepala di sebelah utara) dan imam berdiri di arah pantatnya
deskripsi :
1.        Pada suatu saat, saya salat di masjid yang imamnya pada waktu sujud kedua, terlihat betul antara lutut dan sebelah atasnya. Boleh dibilang pahanya terlihat waktu saya duduk di shaf depan dekat dengan Imam. Karena antara kaki yang kiri dan kanan dibuka agak lebar selebar sajadah. Atau aurat Imam kelihatan. Bagaimana hukumnya salat saya itu dan bagaimana hukum Imam itu?
2.       Di desa kami, pada umumnya maskawin dari pihak suami kepada isterinya, seperangkat alat salat dan sebuah kitab suci al Quran. Juga tidak sekaligus diberikan, tetapi memberinya biasanya selisih tiga atau empat hari setelah hari perkawinannya. Sedangkan malam pertama, kedua dan ketiga sudah mengadakan hubungan suami isteri. Bagaimana maskawin yang belum diberikan/dibelikan, bagaimana hukumnya hubungan sebadan itu?
Jawaban:
1.        Salat sang imam sah dan salat anda juga sah.
Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 1 halaman 116
(قَوْلُهُ مِنَ اْلا َسْفَلَ) اَيْ فَلَوْ رُؤِيَتْ مِنْ ذَيْلِهِ كَاَنْ كَانَ بِعُلُوِّ وَالَّرائِى بِسُفْلٍ لَمْ يَضُرَّ اَوْ رُؤِيَتْ حَالَ سجُوْدِهِ فَكَذَلِكَ لاَيَضُرُّ.
(ucapan musanif dari bawah) artinya andaikata aurat itu di lihat ujung pakaianya, sperti orang yang melihat ke bawah, maka tidak merusak salatnya atau auratnya dilihat dalam sujudnya, maka yang demikian itu tidak merusak salatnya.
Kitab Tanwirul Qulub halaman 129:
وَإذَا تَخَرَّقَ ثَوْبُ المُصَلِّى وَظَهَرَتْ عَورَتُهُ وَامْكَنَهُ سَتْرُهَا بِدُونِ مَسِّ مَحَلِّ يُنْقِضُ الوُضُوْءَ كَقُبُلٍ وَجَبَ عَلَيْهِ سَتْرُهَا بِيَدِهِ. فَإِذَا سَجَدَ تَرَكض السَّتْرَ لِوُجُودش عَلَى الأعْضَاءِ السَّبْعَةِ وَلِكَوْنِهِ حِيْنَئِذٍ عَاجِزًا عَنِ السَّتْرِ وَهُوَ لاَيَجِبُ إلاَّ عِنْدَ القُدْرَةِ.
Apabila sobek pakaian orang yang sedang salat dan kelihatan auratnya sedang dia mampu menutupinya tanpa menyentuh tempat yang membatalkan wudlu seperti kemaluan, maka wajib bagina menutupinya dengan tangannya. Apabila dia bersujud maka dia tidak menutupi aurtnya, karena dia berkewajiban sujud dengan tujuh anggota badannya dan karena keadaannya pada waktu itu menjadi orang yang tidak mampu menutupi aurat, sedang menutup aurat itu tidak wajib kecuali pada waktu mampu.
2.       Maskawin tidak harus kontan, melainkan boleh juga dihutang. Hanya saja, jika pada waktu ijab qobul pihak wali mengatakan bahwa maskawin itu diberikan secara tunai (kontan) dan mempelai laki-laki menyetujui, sedang kenyataannya tidak diberikan secara tunai (selang tiga atau empat hari), maka sang suami berdosa karena berdusta. Hubungan seksual yang dilakukan adalah halal sebab maskawin itu hanya kewajiban dan bukan rukun nikah, sebagaimana disebutkan dalam semua kitab-kitab fiqh
Deskripsi :
1.        Menjual kacang yang masih di dalam tanah hukumnya haram. Tetapi hal itu pernah dan sering dilakukan di desa kami. Alasannya dia tidak mungkin memanen sendiri, selain banyak juga membutuhkan tenaga kerja banyak. Sedangkan tenaga kerja sudah dikuasai oleh pemborong. Apakah jual beli seperti itu diperbolehkan?
2.       Apakah istinja’ dengan batu hukumnya sudah suci atau hanya bersih saja, sehingga diperbolehkan melakukan salat?
3.       Apakah saudara ipar termasuk mahram?
4.       Suara wanita adalah aurat. Bagaimana dengan suara wanita yang sering ada dalam acara-acara agama atau lainnya. Bolehkan hal itu dilakukan?
5.        Bolehkah debu untuk mensucikan najis diganti dengan sabun?
Jawaban:
1.        Menjual kacang tanah secara borongan yang masih ada dalam tanah itu hukumnya tidak boleh, sebab hal itu mengandung tipuan. Artinya mungkin si penjual tertipu, sebab- umpama- kacang yang dijual itu diperkirakan hanya satu setengah ton, ternyata setelah dipanen pembelinya, hasilnya mencapai dua ton, sehingga penjual menyesal karena merasa menderita kerugian cukup banyak.
Demikian pula halnya si pembeli yang memperkirakan jumlah kacang yang dibeli sebanyak dua ton, ternyata setelah dipanen hasilnya hanya satu setengah ton, sehingga menderita kerugian. Padahal salah satu syarat dari keabsahan jual beli adalah saling rela antara penjual dan pembeli dalam arti tidak ada yang dikecewakan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
لاَيَصِحُّ البَيْعَ إلاَّ عَنْ تَرَاضٍ
Jual beli itu tidak sah kecuali saling rela antara pembeli dan penjual.
Dalam kitab Syarah Sullam Taufiq, bab riba, halaman 51 disebutkan:
وَمَالَمْ يَرَهُ قَبْلَ العَقْدِ حَذَرًا مِنَ الغَرَرِ الخَطَرِ لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ أنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ اى البَيْعِ المُشْتَمِلِ عَلَى الغَرَرِ فِى البَيْعِ. قَالَ الحِصْنِى: وَفِى صِحَّةِ بَيْعِ ذَلِكَ قَولاَنِ: أحَدُهُمَا أَنَّهُ يَصِحُّ وَبِهِ قَالَ الأَئِمَّةُ الثَّلاَثَةُ وَطَائِفَةٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا, فَمِنْهُمْ البَغَوِى وَالرَّوْيَانِى وَالجضدِيْدُ. الأظْهَرُ لاَيَصِحُ لأَنَّهُ غَرَرٌ.
Tidak boleh membeli barang yang belum dilihat sebelum akad untuk menghindari tipuan yang dikhawatirkan, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw melarang barang yang belum jelas, artinya jual beli yang mengandung tipuan pada barang yang dijual.
Imam Al Hisny berkata: Mengenai keabsahan jual beli tersebut ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan sah. Dengan keabsahan ini telah berpendapat para Imam Madzhab yang tiga dan sekelompok dari para Imam Madzhab Syafii- antara lain al Baghawi, ar Rauyani dan qoul jadid: Yang jelas adalah bahwa jual beli yang demikian itu tidak sah, karena mengandung tipuan.
2.        Jika kita perhatiakan semua kitab-kitab fiqh, istinja’ adalah termasuk salah satu pasal dari bab bersuci, yaitu mensucikan najis dari berak dan kencing. Sehingga jika persyaratan-persyaratan yang disebutkan dalam istinja’ itu dipenuhi seluruhnya, maka orang yang beristinja’ sudah suci, sehingga dia boleh melakukan salat.
3.        Saudara ipar itu termasuk mahram, tetapi mahram yang tidak kekal, karena kemahramannya hanya dari segi tidak boleh dimadu saja.
Dasar pengambilan Kitab Fathul Qorib, hamisy kitab al Bajuri juz 2 halaman 117
وَالمُحَرَّمَاتُ السَّابِقَةُ حُرْمَتُهَا عَلَى التَّأبِيْدِ وَوَاحِدَةٌ حُرْمَتُهَا لاَ عَلَى التَّأْبِيْدِ بَلْ مِنْ جِهَّةِ الجَمْعِ فَقَطُّ وَهِيَ أُخْتُ الزَّوْجَةِ.
Wanita-wanita yang haram dinikah yang telah disebutkan terdahulu, keharamannya adalah selamanya (kekal) , sedangkan yang satu keharamannya tidak selamanya, tetapi dari segi dimadu saja, yaitu saudara perempuan isteri.
4.         Suara wanita itu bukan aurat sehingga boleh mendengarkannya kecuali jika dikhawatirkan akan mendatangkan fitnah atau dinikmati kemerduannya.
Dasar pengambilan Kitab Ianatut Thalibin juz III, halaman 260:
وَلَيْسَ مِنَ العَوْرَةِ الصَّوتُ اى صَوتُ المَرْأةِ وَمِثْلُهُ صَوْتُ الأمْرَدِ فَيَحِلُّ سَمَاعُهُ مَالَمْ تَخْشَ فِتْنَةٌ او يُلْتَذُّ بِهِ وَإلاَّ حَرُمَ... إلَى أنْ قَالَ: وَلَو بِنَحْوِ القُرْآنِ.
Suara itu tidaklah termasuk aurat, artinya suara wanita dan yang seperti suara pemuda yang belum berjenggot. Maka halal mendengarkan suara tersebut selama tidak dikhawatirkan mendatangkan fitnah atau dirasakan kenikmatan/ kemerduannya. Jika tidak demikian, maka hukumnya haram… sampai kepada ucapan mushannif: meskipun semisal mendengarkan bacaan al Quran.
5.        Sabun tidak dapat dijadikan pengganti debu untuk mensucikan najis mugholladzoh; sebab bersuci itu adalah termasuk ibadah murni (ibadah mahdlah) yang segala persoalan yang berkaitan dengannya adalah bersifat tauqifi (mengikuti petunjuk yang telah diberikan oleh Rasulullah saw).
Dasar pengambilan Kitab al Hawasyii Madaniyah juz 1 halaman 166:
فَصْلٌ فِى إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ: إذَا تَنَجَّسَ شَيْءٌ جَامِدٌ وَلَو نَفِيْسًا يُفْسِدُهُ التُّرَابُ بِمُلاَقَاةِ شَيْءٍ مِنْ كَلْبٍ او فَرْعِهِ وَلَو لِعَابَهُ مَعَ الرُّطُوبَةِ فِى احَدِهِمَا غُسِلَ سَبْعَا مَعَ مَزْجِ إحْدَهُنَّ سَوَاءٌ الأُوَلَى وَالأَخِرَةِ وَغَيْرُهُمَا بِالتُّرَابِ الطَّهُورِ. .. إلَى أنْ قَالَ: وَخَرَجَ بِهِ نَحْوُ صَبُونٍ وَسَحَاقَةُ خَزَفٍ.
Apabila sesuatu benda padat terkena najis – meskipun benda itu berharga- yang dapat rusak terkena debu, oleh sebab bersentuhan dengan sesuatu dari anjing atau keturunannya, meskipun jilatannya terdapat basah pada salah satu dari keduanya, maka harus dibasuh tujuh kali beserta campuran – salah satu dari ketujuh basuhan, baik yang pertama atau terakhir atau lainnya- dengan debu yang suci ... sampai pada ucapan mushonnif (pengarang): dan tidak termasuk debu, seumpama sabun dan pecahan genting (kereweng--Jawa) yang ditumbuk halus
Deskripsi :
1.        Daging babi merupakan konsumsi haram bagi muslim, kami ingin menanyakan dasar hukumnya di al Quran maupun hadist.
2.       Apakah minyak dan rambut (bulu) babi juga haram? Mohon dijelaskan secara naqliyah.
3.       Mengenai jilbab, kami ingin menanyakan dasar hukumnya dari madzhab-madzhab (Hambali, Hanafi, Malik dan Syafii).
Jawaban:
1.        Dasar keharaman dari daging babi tersebut dalam:
a.         Al Quran surat al Baqoroh ayat 173 yang antara lain berbunyi:
إنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ المَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ. .. الآيَةَ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah…dst.
b.         Surat al Maidah ayat 3 yang antara lain berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ المَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الخِنْزِيْرِ. .. الآيَةَ
Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi ... dst.
2.       Minyak atau lemak dan rambut atau bulu babi itu hukumnya haram.
Dasar pengambilan:
a.        Kitab Tafsir Ibn Katsir (terbitan Darul Fikr) juz 2 halaman 12
وَفِى الصَحِيْحَيْنِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيْرِ وَالأصْنَامِ, فَقِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ أرَأَيْتَ شُحُومَ المَيْتَةِ فَإنَّهُ تُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَتُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ وَيُسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ ؟ فَقَالَ: لاَ هُوَ حَرَامٌ.
Dalam sahih Bukhori Muslim diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw, bersabda: Sesungguhnya Allah mengharamkan berjualan arak, bangkai, babi dan patung-patung. Maka dikatakan kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat tuan terhadap minyak bangkai? karena sesungguhnya lemak tersebut dapat dipergunakana untuk mengolesi bagian luar dari kapal-kapal, untuk meminyaki kulit-kulit dan dapat dipergunakan oleh orang-orang untuk menyalakan lampu? Beliau bersabda: Jangan! lemak itu adalah haram.
b.       Kitab Rawaihul Bayan Tafsirul Ahkam juz 1 halaman 164
(لَحْمُ الخِنْزِيْرِ) وَذَهَبَ الجُمْهُورُ إلَى أَنَّ شَحْمَهُ حَرَامٌ ايْضًا لأَنَّ اللَحْمَ يَشْمُلُ الشَّحْمَ وَهُوَ الصَّحِيْحُ. وَإِنَّمَا خَصَّ اللهُ تَعَالَى ذِكْرَ اللَحْمَ مِنَ الخِنْزِيْرِ لِيَدُلَّ عَلَى تَحْرِيْمِ عَيْنِهِ سَوَاءٌ ذُكِّيَ ذَكَاةً شَرْعِيَّةِ اَمْ لَمْ يُذَكَّ... إلَى أنْ قَالَ: وَقَالَ الشَّافِعِيُّ لاَيَجُوزُ الإنْتِفَاعُ بِشَعْرِ الخِنْزِيْرِ.
(daging babi). Sebagian besar ulama berpendapat bahwa lemak babi itu juga haram, karena daging itu mengandung lemak dan itulah pendapat yang benar. Sesungguhnya Allah taala hanya menyebutkan daging dari babi adalah untuk menunjukkan atas keharaman memakan dagingnya, baik babi itu disembelih secara sembelihan syara’ atau tidak disembelih, ... sampai pada ucapan pengarang, Imam as Syafii berkata: tidak boleh memanfaatkan rambut (bulu) babi.
3.       Jilbab itu menurut Tafsir al Qurtubi dalam menafsiri ayat ke-59 dari surat al Ahzab, adalah:
§  Selembar pakaian yang lebih besar daripada kerudung.
§  Menurut riwayat Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud, jilbab itu adalah selendang.
§  Ada yang mengatakan bahwa jilbab itu adalah cadar yang dipakai untuk menutupi muka wanita.
§  Yang benar, jilbab itu adalah pakaian yang dipakai untuk menutupi seluruh badan wanita.
Dengan demikian, maka masalah memakai jilbab adalah sama dengan masalah menutup aurat bagi wanita. Dalam hal menutup aurat bagi wanita ini menurut madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, disebutkan dalam kitab al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu karangan Dr. Wahbah az Zuhaili (terbitan Darul Fikr) juz 1 halaman 584-594 sebagai berikut:
1- مَذْهَبُ الحَنَفِيَّةِ: ج- المَرْأَةُ الحُرَّةُ وَمِثْلُهَا الخُنْثَى: جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى شَعْرِهَا النَّازِلِ فِى الأصَحِّ, مَاعَدَا الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَالقَدَمَيْنِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا عَلَى المُعْتَمَدِ لِعُمُومِ الضَرُورَةِ.
2- المَذْهَبُ المَالِكِيَّةِ. والعَورَةُ بِالنِّسْبَةِ لِلرُّؤْيَةِ: للرَّجُلِ مَابَيْنَ السُرَّةِ وَالرُّكْبَةِ, وَلِلْمَرْأَةِ أمَامَ رَجُلٍ أجْنَبِيٍّ جَمِيْعُ بَدَنِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَاَمَامَ مَحَارِمِهَا جَمِيعٌ جَسَدِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالأطْرَافِ: وَهِيَ الرّأسُ وَالعُنُقُ وَاليَدَانِ وَالرِّجْلاَنِ, إلاَّ انْ يُخْشَ لَذَّةٌ, فَيَحْرُمُ ذَلِكَ, لاَ لِكَوْنِهِ عَوْرَةُ. وَالمَرْأَةُ مَعَ المَرْأةِ أو مَعَ ذَوِى المَحَارِمِهَا كَالرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ, تُرَى مَاعَدَا مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَأمَامَ المَرْأَةُ فِى النَّظْرِ إلَى الأَجْنَبِيِّ فَهِيَ كَحُكْمِ الرَّجُلِ مَعَ ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ وَهُوَ النَّظْرُ إلَى الوَجْهِ وَالأطْرَافِ (الرَّأسِ وَاليَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ).
3- مَذْ هَبُ الَشَّافِعِيَّةِ ج-عَوْرَةُ الحُرَّةِ وَمِثْلُهَا الخُنْثَى: مَاسِوَى الوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ, ظَهْرِهِمَاوَبَطْنِهِمَا مِنْ رُؤوْسِ الاَصَابِعِ الَى الْكُعَيْنِ (الَرَّسْغُ اَوْ مَفْصِِلُ الزَّنْدِ) لِقَوْلِهِ تَعَلَى: وَلاَيُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَاظَهَرَ مِنْهَا. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ: هُوَ الوَجْهُ وَالْكَفَّانِ. وَلاَنَّ الَنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْأَةَ الْحَرَامَ (الْمُحَرَّمَةَ بِحَجِّ اَوْعُمْرَةٍ) عَنْ لُبْسٍ الْقُفَّزَيْنِ وَالَّنقَابِ, وَلَوْكَانَ الَوجْهُ عَوْرَةً لَمَّاحُرِّمَاسَتْرُهُمَا فِى الاِحْرَامِ, وَلاَّنَ الْحَاجَةتَدْعُوْ اِلَى اِبْرَازِ الْوَجْهِ لِلْبَيْعِ وَالشَّرَاءِ, وَاِلَى اِبْرِازِ الْكَفِّ لِلاَ خْذِ وَالْعَطَاءِ, فَلَمْ يُجْعَلْ ذَالِكَ عَوْرَةً.
4-مَذْهَبُ اْلحَنَابِلَةِ وَعَوْرَةُ الْمَرْأَةِ مَعَ مَحَارِمِهَاالرَِّّجَالِ: هِيَ جَمِيْعُ بَدَنِهَامَاعَدَ الوَجْهِ وَالَّر قْبَةِ وَالْيَدَيْنِ وَالْقَدَمِ وَالسَّاقِ. وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْمَرْأَةِ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ خَارِجَاالصَّلاَةِ عَوْرَةٌ كَمَا قَالَ الشّضافِعِيَّةُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّابِقِ: الَْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ. وَيُبَاحُ كَشْفُ الْعَوْرَةِ لِنَحْوِ تَدَاوٍ وَتَحِلُّ فِى الْخَلاَءِ, وَخِتَانٍ, وَمَعْرِفَةِ الْبُلُوْغِ, وَبِكَارَةٍ وَثَيُوْبَةٍ, وَعَيْبٍ. وَعَوْرَةٌ المُسْلِمَةِ اَمَامَ الكَافِرَةِ: عَوْرَةُ الْمُسْلِمَةِ اَمَامَ الْكَافِرَةِ عِنْدَ الْحَنَابَلَةِ كَاالرَّجُلِ الْمُحْرِمِ: مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالُّركْبَةِ. وَقَالَ الْجُمْهُوْرُ: جَمِيْعُ الْبَدَنِ مَاعَدَامَاظَهَرَ عِنْدَ الْمِهْنَةِ اَيِ الاَسْغَالِ الْمَنْزِلِيَّةِ.
e.        Madzhab Hanafi: Wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci, auratnya adalah seluruh badanya sampai rambutnya turun, menurut pendapat yang paling kuat, selain dan tapak dua tangan, kedua kaki bagian dalam dan bagian luar menurut pendapat yang dapat di jadikan pegangan, karena keumuman dari keperluan yang mendesak.
f.         Madzhab Maliki: Aurat dipandang dari segi melihatnya: bagi laki-laki adalah apa yang ada diantara pusat dan lutut. Dan bagi wanita dihadapan orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan. Dan di hadapan muhrimnya (laki-laki) adalah seluruh jasadnya selain muka dan anggauta –anggauta: kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki, kecuali jika di takutkan rasa lezat, maka hal tersebut haram, bukan karena keadaanya sebagai aurat. Dan wanita dengan wanita atau yang mempunyai hubungan muhrim adalah laki-laki, yaitu dapat dilihat apa yang ada dipusat dan lutut. Adapun wanita wanita dalam memendang ke laki-laki lain adalah seperti hukumnya lain adalah seperti hukumnya laki-laki beserta para wanita yang menjadi muhrimnya, yaitu memandang kepada anggauta-anggauta: kepala, kedua tangan dan kedua kaki.
g.       Madzhab Syafii: Aurat wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci adalah: apa yang selain muka dan kedua telapak tangan, bagian luar dan dalam dari kedua ujung-ujung jari dan dari dua pergelangan tangan (ruas atau tempat pergelangan tangan) , berdasarkan firman Allah: Janganlah para wanita menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak dari padanya. Ibnu Abbas dan Aisyah ra. berkata: Yaitu muka dan kedua tapak tangan. Dan Nabi saw. Telah melarang wanita yang ihram untuk haji atau umroh untuk memakai dua sarung tangan dan kain tutup maka (cadar). Andaikata tapak tangan dan muka itu adalah aurat, niscaya tidak diharamkan menutup keduanya dalam ihram, dan karena hajat mengundang kepada penampakan muka untuk jual beli dan penampakan tpak tangan untuk mengambil dan memberi, maka hal itu tidak di jadikan aurat.
h.       Madzhab Hambali: Aurat wanita beserta para muhrimnya laki-laki adalah selain badanya selain muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis.
Semua badan wanita sampai muka dan kedua tapak tangan diluar salat adalah aurat, sebagaimana kata Asy Syafii berdasarkan sabda Nabi saw. yang telah lalu wanita adalah aurat.
Dan diperbolehkan membuka aurat karena keperluan seperti, berobat, berhajat di tempat yang sunyi, khitan, mengetahui masa baligh, perawan dan tidaknya wanita dan cacat.
Aurat wanita muslim dihadapan wanita kafir, menurut madzhab Hambali adalah seperti di hadapan laki-laki mahram, yaitu anggota badan yang ada diantara pusat dan lutut. Jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa seluruh badan wanita itu adalah aurat, kecuali apa yang nampak pada waktu melakukan kesibukan-kesibukan rumah
Deskripsi :
Di dalam kitab-kitab terdahulu banyak ulama yang menerangkan salat khauf baik di waktu menghadapi musuh atau karena yang lain dengan cara yang tertera dalam Alquran dan Hadits, diantaranya Firman Allah yang "Jika kamu dalam ketakutan, maka salatnya sambil berjalan kaki atau berkendaraan." (Al baqarah 239).
Bagaimana dengan perang yang terjadi pada masa sekarang ini, yang alatnya serba canggih. Dengan komputer tinggal menekan tombol, apabila kita diserang atau menyerang musuh.
1.        Bagaimana salatnya orang yang bertugas mengendalikan (menjaga) komputer yang serius menghadapi serangan musuh. Apakah dia harus berhenti sejenak untuk mengerjakan salat, padahal kalau dia meninggalkan pasti akan kehilangan jejak.
2.       Apakah waktu bertugas harus/membaca bacaan yang wajib dalam salat atau cukup dengan eling (ingat) kepada Allah saja.
3.       Bagaimana salatnya orang yang sambil berjalan kaki?
Jawaban:
1.        Orang yang dapat mengoperasikan komputer seperti yang anda maksudkan dalam pertanyaan, sudah barang tentu tidak hanya satu orang: melainkan ada beberapa orang sehingga karenaya dapat melakukan salat dengan bergantian tanpa harus kehilangan jejak dari pesawat terbang musuh yang sedang dipantau. Bahkan dia dapat melaksanakan salat jamaah sebagaiman pasukan muslim akan berangkat kemedan pertempuran. Jika musuh yang dihadapi tidak berada di arah qiblat, maka pasukan muslim itu di bagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama salat bersama imam satu rakaat, kemudian menyelesaikan salatnya sendiri, lalu pergi mengahadapi musuh. Sedangkan kelompok yang kedua yang semula menghadapi musuh, datang kebelakang imam, lalu salat satu rakaat beserta imam, kemudian menyelesaikan sendiri satu rakaat, lalu salam bersama imam.
Dasar pengambilan Kitab Attadzhib halaman 82:
رَوَى البُخَرِيُّ (3900) وَمُسْلِمٌ (842) وَغَيْرَهُمَا, عَنْ صَالِحِ بنِ خَوَّاتِ, عَمَّنْ شَهِدَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, صَلَّى يَوْمَ ذَاتِ الرَّقَاعِ صَلاَ ةَ الخَوْفِ: اَنَّ طَائِفَةً صَفَّتْ مَعَهُ, وَطَائِفَةٌ وُجَاهَ العَدُوِّ, فَصَلَّى بِالَّتِى مَعَهُ رَكْعَةً, ثُمَّ ثَبَتَ قَائِمًا, وَأَ تَمُّوْا لاَنْفُسِهِمْ ثُمَّ انْصَرَفُوْا, فَصَفُّوْا وُجَاهَ العَدُوِّ, وَجَاءَتْ ااطَّائِفَةُ الاُخْرَى فَصَلَّى بِهِمْ رَكْعَةَ الَّتِى بَقِيَتِ مِنْ صَلاَ تِهِ, ثُمَّ ثَبَتَ جَالِسًا, وَاَتَمُّوْا لاَنْفُسِهِمْ, ثُمَّ سَلَّمَ بِهِمْ.
(Fasal). Salat khouf itu ada tiga macam. Yang pertama apabila musuh berada di arah qiblat mak imam membagi pasukanya menjadi dua kelompok. Satu kelompok berdiri menghadapi musuh dan satu kelompok di belakang imam. Kemudian imam salat dengan kelompok yang berada di belakangya, lalu kelompok ini menyelesaikan salatnya sendiri kemudian pergi menghadapi musuh. Kemudian kelommpok lain datang lalu imam salat bersama kelompok kedua ini satu rakaat dan kelompok ini menyampurnakan sendiri dan imam bersalam beserta mereka.

Imam Al bukhori meriwayatkan (3900) dan Imam Muslim (842) dan selain keduanya, dari sahih Bin Khawwat, dari orang yang menyaksikan Rasulullah saw, melakukan salat pada peperangan Dzatu Riqo’ dengan salat khouf, bahwa satu kelompok berbaris di belakang beliau dan yang satu kelompokmenghadapi musuh. Kemudian beliau salat beserta kelompok yang di belakangnya satu rakaat, lalu beliau tetap dalam keadaan berdiri. Sedang kelompok yang di belakangnya menyempurnakan salat sendiri, lalu pergi dan berbaris menghadap musuh. Dan datanglah kelompok yamng lain, lalu kemudian beliau salat bersama mereka satu rakaat yang masih tersisa dalam salat beliau, lalu beliau tetap dalam keadaan duduk, sedang kelompok kedua ini menyempurnakan salatnya sendiri, kemudian beliau salam beserta mereka.
2.      Pertanyaan yang kedua sudah terjawab pada pertanyaan pertama. Artinya, dalam keadaan mengoperasikan komputer seperti tersebut dalam pertanyaan, dia tidak boleh hanya dengan membaca bacaan salat atau eling saja, karena dia dapat melakukan salat secara bergiliran.
3.      Salat sambil berjalan kaki sebagaimana dimaksudkan dalam firman Allah swt. Dalam surat Albaqarah ayat 238 dan 239, adalah salat dari orang yang sangat ketakutan beraada dimedan tempur yang sedang berkecamuk. Dalam hal ini orng boleh melakukan salat semampu mungkin, baik dengan berjalan atau naik kendaraan, menghadap kiblat atau tidak.
Dasar pengambilan Kitab At Tadzhib halaman 83:
رَوَى البُخَارِيُّ (4261) عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, فِى وَصْفِهِ صَلاَةَ الخَوفِ: فَإن كَانَ خَوفٌ هُوَ أشَدُّ مِنْ ذَلِكَ, صَلُّوا رِجَالاً قِيَامَا عَلَى أقْدَامِهِمْ, او رُكْبَانًا, مُسْتَقْبِلِى القِبْلَةِ او غَيْرِ مُسْتَقْبِلِهَا. قَالَ مَالِكٌ: قَالَ نَافِعٌ: لاَ أرَى عَبْدِ اللهِ بن عُمَرَ ذِكْرَ ذَلِكَ إلاَّ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ.
Imam al Bukhori meriwayatkan hadist (4261) dari Ibn Umar ra dalam menerangkan sifat salat khauf: Jika situasi peperangan adalah sangat menakutkan, maka salatlah kalian dalam keadaan berjalan serta dengan berdiri diatas kaki mereka atau dengan naik kendaraan, dengan menghadap kiblat atau dengan tidak menghadap kiblat. Imam Malik berkata: Nafi berkata: Aku tidak melihat Abdullah Ibn Umar menuturkan hal tersebut, kecuali bersumber dari Rasulullah saw


Tidak ada komentar:

Posting Komentar